Menlu AS mendesak blok negara-negara di Asia tenggara agar meminta junta di Myanmar bertanggung jawab atas konsensus yang telah dicapai dengan Asean pada April lalu.

WASHINGTON DC - Amerika Serikat (AS) menyatakan keprihatinan yang amat mendalam tentang situasi di Myanmar setelah terjadinya kudeta pada Februari lalu dan mendesak Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/Asean) untuk mengambil tindakan. Hal itu disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri AS pada Selasa (13/7) waktu setempat.

"Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, menyerukan Asean untuk mengambil tindakan bersama untuk mendesak diakhirinya kekerasan, pemulihan transisi demokrasi di Myanmar, dan pembebasan semua warga yang ditahan secara tidak adil," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Ned Price.

Selain mengungkapkan keprihatinan yang amat mendalam tentang Myanmar, Menlu Blinken dalam pertemuan daring itu juga mendorong blok tersebut untuk menerapkan rencana lima poinnya untuk Myanmar yang disusun pada April lalu.

"Asean harus mengambil tindakan segera untuk meminta pertanggungjawaban terhadap rezim di Myanmar terkait pelaksanaan konsensus yang isinya segera diakhirinya kekerasan dan dimulainya dialog di antara pihak-pihak yang bertikai dengan utusan khusus Asean yang menjadi penengah dalam pembicaraan tersebut," kata Price.

Kekacauan

Myanmar berada dalam kekacauan dan perekonomiannya lumpuh sejak militer menggulingkan pemerintah sipil pimpinan Aung San Suu Kyi awal tahun ini, setelah militer menuduhnya melakukan kecurangan selama pemilu 2020.

Awal bulan ini, Washington DC memberlakukan sanksi baru terhadap 22 orang yang terkait dengan kudeta militer dan serangan terhadap gerakan prodemokrasi di negara itu. Sementara itu mantan pemimpin Suu Kyi saat ini berada di bawah tahanan rumah saat diadili atas sejumlah tuduhan yang bisa membuatnya dipenjara selama lebih dari satu dekade.

Demonstrasi massal menentang pengambilalihan kekuasaan itu ditanggapi dengan represi berdarah di seluruh negeri. Situasi kacau semakin parah setelah Myanmar juga menghadapi lonjakan infeksi virus korona.

Terkait dengan aksi represi terhadap demonstran antikudeta di Myanmar, sebuah kelompok pemantau lokal melaporkan sejak terjadinya kudeta pada Februari lalu, sudah lebih dari 900 warga sipil telah dibunuh oleh pasukan junta dan sekitar 200.000 orang terpaksa mengungsi karena serangan militer.

Pekan lalu, Ketua Urusan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, Michelle Bachelet, mengatakan bahwa situasi HAM di Myanmar telah berubah dari krisis politik menjadi bencana HAM multidimensi. Semantara Program Pangan Dunia (World Food Programme/WFP) memperkirakan lebih dari 6 juta orang di Myanmar saat ini sangat membutuhkan bantuan pangan.

Myanmar telah diperintah hampir terus-menerus oleh militer sejak 1962 atau tepatnya lebih dari satu dekade sejak merdeka dari Inggris. Baru pada 2011, Myanmar tak lagi dikuasai militer dan pemerintahan sipil yang berkuasa saat itu memperkenalkan reformasi ekonomi dan politik, termasuk pemilihan multipartai. AFP/I-1

Baca Juga: