WASHINGTON DC - Pemerintahan Donald Trump bereaksi keras terhadap Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) di Den Haag, Belanda, karena melanjutkan penyelidikan terhadap pasukan Amerika Serikat (AS) dengan tuduhan melakukan kejahatan perang di Afghanistan.

Menteri Luar Negeri Mike Pompeo mengatakan Washington DC dan pemerintahnya akan membekukan aset Jaksa Penuntut ICC, Fatou Bensouda, dan asistennya sebagai bagian dari penolakan Presiden Trump terhadap mahkamah yang bermarkas di Den Haag itu.

AS juga telah memberlakukan larangan perjalanan pada Fatou Bensouda dan seorang pejabat ICC lainnya karena penyelidikan tersebut. "Hari ini kami mengambil langkah berikutnya, karena ICC terus menarget Amerika Serikat," kata Menlu Pompeo kepada wartawan. "Kami tidak akan mentolerir upaya tidak sah untuk membuat warga AS tunduk pada yurisdiksi mereka," imbuh dia.

Pompeo menyebut Mahkamah Pidana Internasional sebagai institusi yang benar-benar rusak dan korup.

Selain Bensouda, salah satu pembantu utamanya yaitu Phakiso Mochochoko, juga dikenakan sanksi pembekuan aset, kata Menlu AS itu seraya memperingatkan bahwa individu dan entitas lain yang mendukung Fatou Bensouda dan Phakiso Mochochoko juga bisa terkena sanksi AS.

"Kementerian Luar Negeri AS telah memberlakukan larangan kunjungan pada orang-orang tertentu yang terlibat dalam upaya ICC untuk menyelidiki personel AS," ucap Pompeo tanpa menyebut nama.

Presiden Trump bulan Juni lalu menandatangani instruksi presiden yang mengizinkan kemungkinan sanksi terhadap anggota Mahkamah Pidana Internasional.

ICC di Den Haag ketika itu menyatakan penyesalan yang mendalam atas langkah AS dan mengatakan bahwa serangan-serangan ini merupakan suatu eskalasi dan upaya yang tidak dapat diterima untuk mengganggu supremasi hukum dan proses peradilan oleh pengadilan.

Halangi Keadilan

Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag dibentuk pada 2002. AS menolak ikut dalam institusi ini karena khawatir serdadu dan anggota dinas rahasianya bisa dituntut dalam kasus genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Mahkamah Pidana Internasional pada Maret lalu memutuskan untuk membuka penyelidikan atas kemungkinan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Afghanistan antara 2003 dan 2014, termasuk yang diduga dilakukan oleh pasukan AS dan dinas rahasia CIA.

Pemerintahan Trump berulang kali memperingatkan bahwa pihaknya akan mengambil tindakan balasan jika penyelidikan itu tidak dihentikan.

Richard Dicker dari Human Rights Watch (HRW) menyebut sanksi pemerintah AS terhadap personel Mahkamah Pidana Internasional itu sebagai upaya menghalangi keadilan bagi para korban.

"Pemerintahan Trump telah memutarbalikkan sanksi-sanksi ini untuk menghalangi keadilan, tidak hanya bagi korban kejahatan perang, melainkan juga bagi korban kekejaman di mana pun yang mencari keadilan ke Mahkamah Pidana Internasional," pungkas Dicker. AFP/DW/ AP/I-1

Baca Juga: