Apa yang terjadi di Tunisia saat itu memicu munculnya semangat yang sama di berbagai negeri Arab. Kini, unjuk rasa dan amuk massa dengan semangat Arab Spring itu muncul di Lebanon, pascaledakan dahsyat di pelabuhan Beirut.

"Apii yang disulut itu tidak padam, tetapi justru membakar akar rumput yang kering di negeri-negeri Arab." Itulah salah satu slogan yang muncul saat pemuda Tunisia, Tarek al-Tayeb Mohamed Bouazizi, 26 tahun, membakar diri pada 17 Desember 2010. Dia membakar dirinya sebagai bentuk protes terhadap pemerintah yang mempersulit rakyat kecil dalam mencari nafkah.

Bouazizi tidak menyangka tindakannya itu mampu memicu sebuah revolusi besar di negerinya dan negara-negara Arab lainnya. Bouazizi hanyalah seorang pedagang buah. Penghasilannya hanya sekitar 1,3 juta rupiah per bulan. Dengan uang itulah dia menghidupi delapan orang anggota keluarga.

Pemuda yang tinggal di Kota Sidi Bouzid itu ingin meningkatkan usahanya, dari berjualan di gerobak menjadi kendaraan roda empat sejenis pick up. Keluarganya tidak mampu membayar uang sogok ke tiga orang petugas pemda. Barang dagangan Bouazizi pun digaruk dan si penjual dipentung petugas.

Bouazizi frustasi. Pada 17 Desember 2010, dia menyiram dirinya dengan bensin dan menyalakan korek api. Si penjual buah itu luka bakar hingga 90 persen, dan 5 Januari 2011, Bouazizi meninggal. Kabar kematiannya tersiar ke segala pelosok bumi. Pengguna media sosial, Twitter, terus berkicau membakar semangat perubahan dan menyuarakan hak-hak si tertindas di Tunisia.

Aksi penjual buah pinggir jalan yang nyawanya tak tertolong tersebut akhirnya memicu protes besar rakyat Tunisia yang membuat Presiden Zine El Abidine Ben Ali harus mundur dari kekuasaan yang dipegangnya selama 23 tahun. Kekuasaan yang tak tergoyahkan selama puluhan tahun jatuh hanya 10 hari sejak Bouazizi wafat.

Apa yang terjadi di Tunisia saat itu memicu munculnya semangat yang sama di berbagai negeri Arab. Kini, unjuk rasa dan amuk massa dengan semangat Arab Spring itu muncul di Lebanon, pascaledakan dahsyat di Pelabuhan Beirut. Menteri Informasi Lebanon Manal Abdel Samad, Menteri Lingkungan Demanios Kattar, dan Menteri Kehakiman Lebanon Marie Claude Najm, mengundurkan diri.

Perdana Menteri Lebanon, Hassan Diab, merencanakan pertemuan darurat, Senin (10/8). Sebab, pengunduran diri tujuh atau lebih dari 20 menteri bisa memaksa kabinet pemerintahan itu turun dan menjadi pemerintah sementara.

Ledakan dahsyat sekitar 2.700 ton amonium nitrat di Gudang Pelabuhan Beirut, Lebanon, Selasa (4/8), yang menewaskan sedikitnya 100 orang serta melukai 4.000 lainnya, memang membuat perekonomian Lebanon makin terpuruk.

Sebelum ledakan dahsyat tersebut, masyarakat Lebanon telah terjerembap dalam cengkeraman krisis ekonomi yang kuat. Kini ditambah lagi dengan pandemi virus korona baru.

Sejak Maret 2020, harga sebagian besar barang di Lebanon melonjak hampir tiga kali lipat. Sementara nilai mata uang negara itu turun 80 persen dan sebagian besar warganya harus kehilangan pekerjaan. Korupsi di tubuh pemerintahan dan kesalahan dalam mengatur keuangan negara menjadi salah satu penyebab Lebanon berada di ambang kehancuran finansial.

Krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya di Lebanon telah mendorong puluhan ribu orang jatuh miskin. Sekaligus, memicu protes anti-pemerintah terbesar yang pernah terjadi di negara itu dalam lebih dari satu dekade pada pertengahan Juli lalu. Utang publik terhadap produk domestik bruto (PDB) Lebanon adalah tertinggi ketiga di dunia. Pengangguran mencapai 25 persen dan hampir sepertiga penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.

Kini, semangat Arab Spring sedang merasuki warga Lebanon. Pada Minggu (9/8), para pengunjuk rasa turun ke area parlemen dan bentrok dengan pasukan keamanan yang menembakkan gas air mata. Mereka menyalahkan tindakan korupsi dan elite penguasa Lebanon yang tidak mampu mengurus negara dengan baik. Demonstran mendirikan tiang gantungan kayu sebagai simbol dan memegang setidaknya satu spanduk bertuliskan "mundur atau gantung." ν

Baca Juga: