Dengan tingkat popupasi besar, Indonesia hanya dijadikan pasar bagi prosuk asing sehingga bakal banyak pelaku UMKM terancam gulung tikar dan menciptakan PHK massal, terutama di sektor industri pengolahan.
JAKARTA - Kehadiran aplikasi asing, seperti Temu, dapat mengancam keberadaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) lokal. Sebab, Indonesia dikhawatirkan hanya akan semakin menjadi pasar bagi barang-barang impor.
"Indonesia hanya dijadikan pasar, akan banyak pelaku usaha yang terancam gulung tikar dan menciptakan PHK massal terutama di sektor industri pengolahan," ujar Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (15/6).
Kementerian Koperasi dan UKM melalui staf khususnya, Fiki Satari, juga tegas menolak masuknya Temu ke Indonesia. Menurutnya, aplikasi tersebut harus sesuai dengan regulasi yang ada.
"Harus ditolak. Jadi, sebenarnya secara regulasi ini sulit untuk beroperasi. Ada PP Nomor 29/2002 tentang Larangan Penggabungan KBLI 47, bisa juga yang kita revisi Permendag Nomor 31/2023, Pengawasan Pelaku Usaha Sistem Elektronik, ada cross border langsung jadi tidak boleh," ucap Fiki.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, nilai ekonomi digital UMKM dapat mencapai 4.531 triliun rupiah pada 2030, mengingat potensi peningkatan akses pasar yang lebih luas dalam ekosistem digital.
Untuk diketahui, Temu adalah platform global cross-border yang berasal dari Tiongkok. Aplikasi tersebut menggunakan metode penjualan Factory to Consumer (penjualan langsung dari pabrik ke konsumen). Metode tersebut dinilai bisa berdampak buruk pada UMKM dan lapangan pekerjaan di Indonesia. Saat ini, Temu telah penetrasi ke 58 negara.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM), Teten Masduki, menyampaikan kekhawatiran akan masuknya aplikasi lokapasar baru yang dapat menghubungkan langsung antara pabrik di Tiongkok langsung ke konsumen Indonesia.
"Ini yang saya khawatir, ada satu lagi aplikasi digital cross-border yang saya kira akan masuk ke kita, dan lebih dahsyat daripada TikTok, karena ini menghubungkan factory direct kepada konsumen," ujar Teten di Jakarta, Senin (10/6).
Teten menyebutkan aplikasi bernama Temu ini berasal dari Tiongkok dan sudah masuk ke 58 negara. Menurutnya, aplikasi tersebut terhubung dengan 80 pabrik di Tiongkok dan produknya bisa langsung diterima oleh seluruh konsumen di dunia.
Model Bisnis
Sementara itu, Kementerian Perdagangan mengatakan aplikasi belanja Temu tidak akan bisa masuk Indonesia lantaran model bisnisnya tidak dapat diterapkan di Tanah Air.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Isy Karim, mengatakan model bisnis dari platform asal Tiongkok tersebut merupakan produsen ke konsumen atau factory to consumer (F to C), yang mana tidak bisa berlaku di Indonesia.
"Modelnya Temu, F to C, di kita enggak bisa. Kena itu terganjar sama peraturan pemerintah, ada PP 29 (PP Nomor 29 Tahun 2021) mengenai distribusi, itu produsen enggak bisa langsung masuk ke konsumen," ujar Isy, di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis pekan lalu.
PP 29 Tahun 2021 mengatur tentang kebijakan dan pengendalian ekspor dan impor, penggunaan atau kelengkapan label berbahasa Indonesia, distribusi barang, sarana perdagangan, standardisasi, pengembangan ekspor, metrologi legal, serta pengawasan kegiatan perdagangan dan pengawasan terhadap barang yang ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan.