Risiko penurunan penerimaan pajak dibarengi potensi kenaikan belanja konsumtif pemerintah pada semester II-2022 dapat membuat defisit APBN melebar.

JAKARTA - Pemerintah diminta tak cepat berpuas diri dengan capaian pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022 sebesar 5,44 persen. Sebab, pada semester II-2022, tekanan terhadap APBN kian berat sehingga perlu solusi untuk meringkankan beban anggaran.

Direktur Celios, Bhima Yudisthira, menegaskan ancaman nyata itu saat ini APBN memang surplus, tetapi ke depan, khususnya pada semester II-2022 sudah mulai lagi ada indikasi defisit anggaran. "Kenapa? Pertama, ada pembalikan arah dari harga komoditas dari yang selama ini diandalkan khususnya untuk menyumbang penerimaan pajak dan PNBP," ucapnya pada Koran Jakarta, Minggu (14/8).

Dia menjelaskan ketidakpastian global memperlemah permintaan di berbagai sektor usaha secara internasional. "Ini yang membuat permintaan terhadap komoditas turun sehingga penerimaan pajak juga bisa terpengaruh," ujarnya.

Kedua, lanjut Bhima, pola belanja pemerintah pada semester II-2022 biasanya terus digenjot, termasuk untuk pengadaan barang dan jasa serta pembayaran proyek infrastruktur. Hal itu membuat defisit anggaran bisa melebar.

Bahkan, pelebaran difisit bisa lebih luas lagi mengingat ada kebutuhan anggaran subsidi energi masih yang cukup besar. Hingga akhir tahun, anggaran subsidi diperkirakan mencapai 600 triliun rupiah, di atas anggaran yang ditetapkan sebesar 520 triliun rupiah.

Untuk mengantisipasi potensi pelebaran defisit, menurut Bhima, pemerintah dapat mendorong kembali penerimaan, terutama dari perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pajak.

Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, mengatakan perekonomian Indonesia pada kuartal II-2022 menunjukkan kinerja sangat impresif di tengah krisis dan ketidakpastian global. Hal tersebut ditopang kinerja konsumsi, investasi, dan ekspor.

Dibandingkan negara lain, Indonesia mengalami tren pertumbuhan pada kuartal II-2022 sebesar 5,4 persen, naik dari kuartal I-2022 sebesar 5 persen. Tren perlambatan dialami sebagian besar negara, seperti Italia, Perancis, Jerman, Tiongkok, dan Amerika Serikat.

"Ini yang menggambarkan risiko ini sudah mulai terlihat di dalam pertumbuhan ekonomi kuartal kedua di negara-negara yang cukup besar dan pengaruhnya ke dunia cukup besar," kata Menkeu dalam konferensi pers APBN KiTA, pekan kemarin.

Dilihat dari konteks produk domestik bruto (PDB) riil, Menkeu menyampaikan bahwa Indonesia sudah jauh berada di atas kondisi pra-Covid. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartall II-2022 sebesar 5,4 persen merupakan dorongan dari pemulihan ekonomi, terutama dari konsumsi masyarakat yang tumbuh 5,5 persen.

Andalkan Ekspor

Adapun penyumbang pertumbuhan ekonomi Indonesia lainnya berasal dari ekspor yang melonjak sangat tinggi sejalan permintaan komoditas dan produk manufaktur unggulan nasional. Ekspor pada kuartal I-2022 tumbuh 16,7 persen dan makin meningkat pada kuartal II-2022 meningkat menjadi 19,7 persen. Sementara, impor juga melonjak tinggi untuk mendukung pemulihan ekonomi dimana beberapa produksi masih membutuhkan bahan baku dan barang modal yang berasal dari impor.

"Ini momentum pemulihan ekonomi pada 2022 yang cukup konstan. Dua kuartal berturut-turut menunjukkan bahwa pemulihan sudah on track, sesuai dengan jalurnya," kata Menkeu.

Baca Juga: