Serapan anggaran itu masalah klasik yang hingga saat ini belum bisa diselesaikan dengan baik.
JAKARTA - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 telah bekerja keras sebagai shock absorber untuk melindungi masyarakat dan menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa fungsi APBN untuk melindungi rakyat tergambarkan dari sisi belanjanya.
Belanja negara tahun 2022 tumbuh positif dan terus dioptimalkan, mencatatkan realisasi 3.090,8 triliun rupiah atau 99,5 persen dari target berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022, tumbuh 10,9 persen. Realisasi belanja ini terdiri atas realisasi belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah (TKD).
"Kenaikan dari belanja ini akan terlihat bahwa sebagian besar adalah untuk melindungi masyarakat dari mulai ancaman kesehatan, ancaman dari kemerosotan kondisi sosial melalui berbagai bantuan sosial, dan juga dari sisi ancaman dari pelemahan ekonomi dari guncangan komoditas. Jadi ini adalah cerita mengenai APBN sebagai shock absorber," ungkap Menkeu dalam Konferensi Pers Realisasi APBN 2022 yang diselenggarakan secara daring, Selasa (03/01).
Belanja pemerintah pusat mencapai 2.274,5 triliun rupiah atau 98,8 persen dari Perpres 98/2022, tumbuh 13,7 persen dari realisasi tahun 2021. Jumlah tersebut terdiri dari realisasi belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar 1.079,3 triliun rupiah atau 114,1persen dari Perpres 98/2022, dipengaruhi oleh antara lain peningkatan pagu belanja K/L untuk mendukung program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional di bidang kesehatan dan perlindungan sosial.
Tambahan belanja di bidang kesehatan utamanya untuk penanganan pasien Covid-19, pembayaran insentif tenaga kesehatan dan pengadaan obat-obatan/ vaksin penanganan Covid-19. Sedangkan tambahan belanja di bidang perlindungan sosial utamanya untuk menjaga daya beli dan meringankan beban pengeluaran masyarakat melalui program bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng, BLT BBM, dan bantuan subsidi upah, serta untuk penanggulangan bencana alam di beberapa daerah.
Adapun realisasi belanja non-K/L mencapai 1.195,2 triliun rupiah atau 88,2 persen dari Perpres 98/2022 meningkat 47,6 persen apabila dibandingkan realisasi tahun 2021. Jumlah tersebut antara lain terdiri dari pembayaran bunga utang yang mencapai 386,3 triliun rupiah atau 95,2 persen dari Perpres 98/2022 dan subsidi energi dan kompensasi sebesar 551,2 triliun rupiah atau 109,7 persen dari Perpres 98/2022. Angka ini meningkat 192,7 persen dari realisasi tahun 2021, terutama dipengaruhi oleh lebih tingginya harga ICP dan konsumsi BBM dan listrik yang meningkat.
Sementara itu, realisasi TKD tahun 2022 mencapai 816,2 triliun rupiah atau 101,4 persen dari Perpres 98/2022, tumbuh 3,9 persen dibandingkan realisasi tahun 2021. Realisasi anggaran tersebut dipengaruhi oleh peningkatan alokasi Dana Bagi Hasil dan kinerja daerah dalam memenuhi persyaratan penyaluran Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, serta pelaksanaan program BLT Desa.
"Belanja negara kita gunakan sebagai tools untuk menjadi shock absorber bagi masyarakat yang berpotensi mengalami syok apabila guncangan-guncangan itu tidak kita redam," pungkas Menkeu.
Cukup Mengejutkan
Tingginya pencapaian belanja negara 2022 cukup mengejutkan karena hingga 30 September masih ada 1.200 triliun rupiah uang yang belum digunakan. Ada kesan, tingginya belanja negara di akhir tahun digunakan untuk perjalanan dinas dan acara seremonial yang tak produktif.
Presiden Joko Widodo pun sempat kesal dengan masih banyaknya anggaran pemerintah, terutama Pemerintah Daerah (Pemda) di 2022 ini yang terparkir di bank. Terlihat, dua bulan jelang tutup tahun 2022, penyerapan anggaran masih 62,5 persen. Kejadian ini pun berulang tiap tahun.
Terhadap fenomena tersebut, peneliti Ekonomi Core, Yusuf Rendi Manilet sebelumnya mengatakan penyerapan anggaran baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus lebih dioptimalkan lagi. Hal itu agar bisa mengejar target pertumbuhan ekonomi nasional. "Serapan anggaran di daerah itu masalah klasik yang hingga saat ini belum bisa diselesaikan dengan baik sehingga kontribsui belanja pemerintah belum optimal," kata Rendi.
Ia menjelaskan belanja pemerintah seharusnya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dengan proporsi yang lebih tinggi, tetapi beberapa masalah klasik kerap jadi tantangan.