JAKARTA - Penegasan Presiden Prabowo Subianto dalam sidang pertama Kabinet Merah Putih agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dibelanjakan dengan cermat dan teliti dinilai sangat tepat. Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Kamis (24/10), mengaku sepakat jika APBN harus menjadi instrumen demokratisasi ekonomi dan redistribusi pendapatan.

"Jangan sampai terjadi pemborosan anggaran untuk biaya yang tidak perlu dan tidak efisien karena akan menghambat distribusi pemerataan itu," tegas Awan. Menurut dia, politik anggaran semestinya ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat, khususnya kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.

Untuk itu, politik anggaran juga mesti mendukung upaya mewujudkan kedaulatan ekonomi, baik di bidang pangan, energi, maupun sektor-sektor kerakyatan lainnya. Pada saat yang sama, perlu upaya tegas menghentikan kebocoran anggaran yang terjadi, baik melalui korupsi maupun regulasi terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA).

Layanan Sosial

Dari Yogyakarta, Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan dari delapan misi Presiden Prabowo (Asta Cita) untuk mencapai visi "Bersama Indonesia Maju, Menuju Indonesia Emas 2045", setidaknya lima di antaranya memiliki keterkaitan erat dengan aspek ekonomi dan sosial. Infrastruktur , jelasnya, tetap menjadi perhatian, tetapi tampaknya tidak lagi menjadi fokus dominan seperti pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang lebih menitikberatkan pembangunan fisik.

"Penekanan pada era Prabowo terlihat berbeda. Jika pada era Jokowi kita lebih fokus pada infrastruktur fisik, di era Prabowo, kebutuhan dasar atau pokok menjadi sorotan utama," jelas Aloysius. Kebutuhan pokok yang dimaksud bukan hanya soal konsumsi pangan, sandang, dan papan, tetapi juga mencakup layanan sosial, seperti kesehatan, pendidikan, hingga aspek psikologis masyarakat.

"Jika pembangunan di masa Jokowi lebih mengarah pada infrastruktur keras (hard infrastructure), maka pembangunan di era Prabowo sebaiknya lebih menekankan pada infrastruktur lunak (soft infrastructure)," paparnya.

Ia mencontohkan infrastruktur fisik seperti jalan tol tidak akan memberi manfaat maksimal jika keterampilan, pendidikan, dan kesejahteraan psikologis masyarakat tidak berkembang secara memadai. "Psikologis masyarakat yang dilanda kecemasan, apalagi di kalangan kelas menengah, perlu diperhatikan.

Tanpa itu, infrastruktur fisik tidak akan optimal mendukung pembangunan berkelanjutan," kata Aloysius. Dalam jangka pendek, fokus pada pangan selama 100 hari pertama pemerintahan Prabowo dapat dipahami. Namun, hal tersebut tidak cukup untuk memastikan tercapainya Indonesia Emas 2045. Menurut dia, penting untuk memperhatikan kelas menengah yang menjadi penentu keberhasilan proyeksi tersebut.

Baca Juga: