Aparat keamanan di Prancis kembali melakukan penangkapan terkait dengan aksi serangan teror di Kota Nice pada pekan lalu. Penangkapan dilakukan untuk mengetahui motif dan apakah ada pihak luar terlibat dalam serangan tersebut.

PARIS - Pihak kepolisian Prancis telah melakukan dua penangkapan baru dalam penyelidikan atas serangan penikaman di sebuah gereja di Kota Nice yang menewaskan tiga orang.

"Penangkapan itu dilakukan saat pihak berwenang berusaha memahami profil tersangka pembunuh," ungkap seorang narasumber peradilan di Prancis yang enggan disebutkan jati dirinya pada Minggu (1/11). "Dua orang terakhir yang ditahan berusia 25 dan 63 tahun dan ditangkap pada Sabtu (31/10) di kediaman seseorang yang ditahan pada hari sebelumnya," imbuh narasumber itu.

Sementara itu saluran televisi BFM TV melaporkan aparat kepolisian Prancis telah menangkap dua pria yang berasal dari Kota Grasse yang lokasinya tidak jauh dari Nice.

Dengan terjadinya dua penangkapan terbaru itu berarti pihak berwenang di Prancis sekarang telah menahan total enam orang untuk diinterogasi untuk mengetahui apakah mereka terkait dengan Brahim Issaoui, seorang warga Tunisia yang menurut jaksa penuntut telah melakukan serangan penikaman Kamis (29/10) pagi di Basilika Notre-Dame, Nice.

Sejauh ini masih belum jelas apakah Issaoui mendapat bantuan dari pihak luar dalam melakukan aksi terornya. Usai melakukan serangan, Issaoui ditembak polisi beberapa kali dan saat ini dalam kondisi serius di rumah sakit.

Penyidik tidak dapat menanyai dia dan apa motif ia melakukan serangan masih belum jelas.

"Masih terlalu dini untuk mengatakan apakah ada orang lain yang terlibat, apa motivasinya datang ke Prancis dan kapan ide (melakukan serangan) ini muncul dalam dirinya," ucap narasumber rahasia lain mengetahui jalannya penyelidikan dalam aksi teror ini.

Tanggapan Macron

Serangan teror di Prancis ini merupakan yang terbaru dari serangkaian serangan dalam beberapa pekan terakhir.

Prancis mulai menghadapi masalah setelah majalah mingguan Charlie Hebdo kembali menerbitkan kartun karikatur Nabi Muhammad pada awal September, yang diikuti oleh serangan di luar bekas kantor di Paris, kemudian insiden pemenggalan seorang guru dan sekarang serangan di Nice.

Saat mengomentari pemenggalan seorang guru bernama Samuel Paty pada pertengahan Oktober lalu, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, sempat memicu protes dari umat Muslim di seluruh dunia setelah ia menyatakan bahwa Prancis tidak akan pernah mencabut undang-undang yang mengizinkan penayangan karikatur penghujatan dan Prancis pun tidak akan mundur dalam menghadapi kekerasan.

Paty dibunuh oleh seorang remaja keturunan Chechnya yang marah setelah guru tersebut menunjukkan kartun Nabi Muhammad di kelas tempat ia mengajar selama pelajaran kewarganegaraan.

Dalam upaya menenangkan protes, Macron dalam sesi wawancara eksklusif dengan jaringan televisi Al Jazeera pada Sabtu, mengatakan ia menghormati umat Muslim yang dikejutkan oleh kartun Nabi Muhammad tapi itu bukan alasan untuk melakukan kekerasan.

Macron juga mengatakan ada kesalahpahaman tentang niat Prancis terhadap umat Muslim di dunia dan ia berniat untuk meluruskan kesalahpahaman itu. Presiden Prancis itu juga menekankan bahwa tidak berarti dirinya atau para pejabatnya mendukung kartun-kartun itu yang oleh umat Muslim dianggap menghujat, juga tidak berarti bahwa Prancis anti-Muslim.

"Jadi saya memahami dan menghormati bahwa orang-orang terkejut dengan kartun ini, tetapi saya tidak akan pernah menerima bahwa seseorang dapat membenarkan kekerasan fisik karena kartun ini, dan saya akan selalu membela kebebasan di negara saya untuk menulis, berpikir, dan menggambar," pungkas Macron. AFP/I-1

Baca Juga: