» Jika supply beras ke depan tidak terjaga baik dan beberapa negara membatasi ekspor beras maka inflasi akan terjadi.

» Inflasi di Jatim dipicu oleh sejumlah kenaikan harga barang terutama di kelompok bahan makanan.

JAKARTA - Kombinasi antara faktor eksternal yaitu sinyal kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) Fed Fund Rate (FFR) dengan tekanan inflasi dari internal semestinya menjadi pertimbangan Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7 days Reverse Repo Rate.

Apalagi kurs rupiah dalam beberapa waktu terakhir sudah mencapai 15.300 rupiah per dollar AS dan berpotensi mencapai level psikologis baru jika BI tetap bersikukuh mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75 persen.

Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Jumat (1/9), dengan tiga faktor tersebut yaitu tren kenaikan suku global, inflasi dan kurs rupiah membuat posisi BI sulit mempertahankan tingkat suku bunga acuan.

"Data inflasi Agustus ini memberi tekanan lebih ke BI untuk menaikkan suku bunga, kalau tidak kurs rupiah berpotensi melemah lebih dalam lagi," kata Aditya.

Lebih lanjut, dia mengatakan inflasi sendiri lebih banyak dipengaruhi kenaikan harga bahan makanan seperti beras dan cabai. Hal itu karena kekhawatiran akan pasokan beras di dalam negeri tidak bisa diharapkan karena terdampak El Nino. Di saat yang sama, pasokan di pasar dunia juga terbatas seiring dengan kebijakan negara produsen beras seperti India dan Vietnam yang membatasi ekspor beras untuk menjaga kebutuhan dalam negeri mereka.

Pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto, mengatakan efektivitas kebijakan peningkatan suku bunga guna mengendalikan inflasi tergantung pada berbagai faktor ekonomi dan keuangan, seperti tingkat inflasi saat ini, struktur pasar, dan kebijakan-kebijakan lain yang diterapkan.

"Beberapa faktor yang tidak boleh diabaikan adalah fakta inflasi terkini dan espektasinya, dampak ekonomi serta efek transmisinya. Pada situasi dan kondisi tertentu, kenaikan suku bunga harus diimbangi dengan pertimbangan yang cermat terhadap dampaknya pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keuangan," tutur Bambang.

Tidak Terbendung

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan setelah melihat datanya ternyata penyumbang deflasi memang berasal dari volatile food seperti bawang merah karena ada panen raya.

"Biasanya harga bawang merah 40 ribu rupiah per kilogram (kg), kini menjadi 16 ribu rupiah per kg. Demikian juga harga ayam yang sudah turun setelah mengalami kenaikan cukup signifikan beberapa waktu lalu.

"Jika supply beras ke depan tidak terjaga dengan baik karena dampak El Nino dan beberapa negara membatasi ekspor beras maka inflasi akan terjadi. Belum lagi wacana Pertamina untuk menghapus pertalite sehingga memaksa masyarakat untuk menggunakan pertamax tentunya akan mendorong kenaikan biaya produksi dan mengakibatkan kenaikan harga barang-barang sehingga inflasi tidak akan terbendung lagi," paparnya.

Tindakan preventif yang harus dilakukan pemerintah adalah menjaga supply bahan pangan agar stoknya selalu ada di pasar sehingga harganya akan stabil.

"Langkah antisipasi lainnya agar inflasi terkendali yaitu dari kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga," kata Esther.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik Jawa Timur merilis tren inflasi di Jatim pada Agustus 2023 tercatat sebesar 0,11 persen (month to month/mtm) atau 4,13 persen (year on year/yoy).

Fungsional Statistik Ahli Madya BPS Jatim, Umar Sjarifudin, mengatakan kinerja inflasi dalam tahun berjalan (year to date/ytd) yakni dari Januari-Agustus ini tercatat sebesar 1,72 persen.

"Sepanjang tahun berjalan ini, inflasi di Jatim dipicu oleh sejumlah kenaikan harga-harga barang terutama di kelompok bahan makanan," katanya.

Dari delapan kota yang menghitung Indek Harga Konsumen (IHK) di Jatim, kata Umar, seluruhnya mengalami inflasi. Tertinggi terjadi Sumenep 0,16 persen (mtm) dan terendah terjadi di Madiun 0,02 persen (mtm).

Baca Juga: