Normalisasi kebijakan fiskal dan pengetatan moneter harus dikelola secara hati-hati agar tak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi domestik pada 2023.

JAKARTA - Perekonomian nasional tahun depan dihadapkan pada risiko resesi global. Tak hanya itu, normalisasi kebijakan fiskal di dalam negeri dan pengetatan moneter oleh banyak bank sentral di dunia dikhawatirkan semakin berdampak buruk bagi perekonomian nasional.

Karena itu, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky, mengingatkan pemerintah untuk mengantisipasi dampak normalisasi kebijakan fiskal dan ancaman pengetatan kebijakan moneter pada 2023.

Seperti diketahui, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2023 kembali akan dijaga di bawah tiga persen dari PDB (Produk Domestik Bruto), sesuai amanat Perpu 1 Tahun 2020 atau Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Pemerintah mematok defisit APBN di 2023 sebesar 2,84 persen dari PDB.

Lebih lanjut, menurutnya, pengetatan moneter di tingkat global masih akan berlanjut pada 2023, yang berpotensi menurunkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.

"Tapi, kalau pemerintah mampu menjaga berbagai indikator makroekonomi, saya rasa Indonesia masih memiliki modal yang cukup kuat untuk perform," kata Riefky di Jakarta, Senin (12/12).

Hal senada juga disampaikan Ekonom CORE, Mohammad Faisal. Dia mengatakan perlunya kehati-hatian dalam upaya normalisasi kebijakan fiskal sekaligus menghadapi ancaman pengetatan moneter di tingkat global pada 2023.

"Kondisi ini kalau tidak dikelola dengan hati-hati akan berpengaruh terhadap kesehatan atau pertumbuhan ekonomi domestik pada 2023, apalagi kondisi global pada 2023 tidak sekondusif pada tahun ini (2022)," kata Faisal.

Menurutnya, kebijakan fiskal dan moneter yang ditempuh akan berdampak terhadap kesejahteraan dan daya beli masyarakat, terutama kelas ekonomi menengah ke bawah.

Pada kesempatan lain, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, menyebut ke depan regulasi dan kebijakan fiskal perlu dibuat lebih fleksibel untuk mengantisipasi berbagai perubahan.

"Ke depan, perlu dibicarakan terkait kebijakan yang principal base untuk mengantisipasi ketidakpastian, tetapi dengan memastikan penerapan good governance tetap berjalan," katanya dalam Dialog Pakar Peran APBN dalam Pemulihan Ekonomi yang dipantau di Jakarta, kemarin.

Dia pun mendukung keputusan DPR RI yang memperbolehkan pemerintah mengalihkan belanja jika dibutuhkan pada 2023 dan inisiatif ini perlu diikuti oleh kepala daerah yang mengatur APBD.

"Ini penting, karena pemerintah daerah masih memiliki uang di perbankan. Mereka mungkin tidak tahu bagaimana mengalihkan atau mengantisipasi risiko," katanya.

Stimulasi Daerah

Dia menyoroti pemerintah-pemerintah daerah yang baru bergerak mendistribusikan anggaran untuk mengatasi inflasi ketika pemerintah menggelar lomba dan akan menghadiahi daerah yang menang dengan insentif.

"Pangan sempat deflasi karena berlomba menjadi daerah terbaik. Harusnya inisiatif ini ada di pemerintah daerah, bagaimana mereka mengalihkan anggaran untuk kebutuhan masyarakat," katanya.

Apalagi satu kebijakan pemerintah pusat tidak selalu bisa diterapkan di semua daerah di Indonesia karena karakteristik dan sektor unggulan di setiap daerah yang berbeda, katanya.

Pemerintah daerah pun bisa mencoba menerapkan anggaran yang berdasarkan pada prinsipal base atau dapat diubah pengalokasiannya apabila terdapat perubahan kondisi dari yang sebelumnya diperkirakan.

Baca Juga: