Risiko dampak pelambatan ekonomi global dan inflasi yang tinggi sewaktu-waktu bisa mengancam prospek perekonomian dalam negeri.

JAKARTA - Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) harus mewaspadai perkembangan ekonomi global yang diwarnai ketidakpastian. Apabila tak disikapi secara serius dan akurat, kondisi tersebut dikhawatirkan dapat berdampak pada kondisi domestik.

"Tren perkembangan inflasi dan depresiasi rupiah harus menjadi pertimbangan dalam menentukan suku bunga acuan karena dampaknya langsung dirasakan bagi perekonomian nasional," ujar Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati, di Jakarta, Selasa (26/7).

Seperti diketahui, Bank Dunia, dalam laporannya Global Economic Prospects per Juni 2022, merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,9 persen pada 2022. Angka itu lebih rendah 1,2 persen dari proyeksi edisi Januari 2022 yang sebesar 4,1 persen.

Di sisi lain BI memperkirakan, ketidakpastian ekonomi global diperkirakan masih akan tinggi seiring dengan semakin mengemukanya risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan inflasi global, termasuk sebagai akibat dari makin meluasnya kebijakan proteksionisme terutama pangan, yang ditempuh oleh berbagai negara.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, pada 20-21 Juli 2022, pun telah memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan, yaitu BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) tetap sebesar 3,50 persen, suku bunga Deposit Facility tetap sebesar 2,75 persen, dan suku bunga Lending Facility tetap sebesar 4,25 persen.

Anis pun mengingatkan BI untuk terus mengamati kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed yang sudah menaikkan suku bunga sampai 150 basis poin (bps) hingga saat ini. Kebijakan ini untuk merespons angka inflasi AS yang menembus 9,1 persen pada Juni 2022, tertinggi dalam empat dekade terakhir.

BI juga harus mempertimbangkan kondisi stagflasi yang sedang melanda perekonomian global dan imbasnya sampai ke Indonesia. Risiko dampak pelambatan ekonomi global dan inflasi yang tinggi sewaktu-waktu bisa mengancam pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

"BI harus terus mewaspadai risiko kenaikan ekspektasi inflasi dan inflasi inti ke depan. Perkembangan inflasi sampai semester I-2022 menunjukkan ada kenaikan inflasi pada Volatile Food dan Administered Price," tutur Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini.

Beri Kepastian

Kebijakan BI diharapkan dapat memberikan kepastian pada sektor riil yang baru mulai menggeliat terutama sektor UMKM. "Kebijakan yang menahan suku bunga acuan ini diharapkan dapat menjaga suku bunga perbankan, sehingga bunga bank pun tidak mengalami kenaikan. Kredit perbankan bisa tetap tumbuh, sehingga stabilitas perekonomian bisa tetap terjaga dan pemulihan ekonomi bisa berjalan dengan baik," ucap Anis.

Sementara itu, pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Dzulfian Syafrian, menilai perekonomian nasional saat ini dalam keadaan relatif baik, tetapi harus tetap waspada atas potensi distorsi perekonomian.

"Kita mesti tetap waspada karena bisa saja distorsi perekonomian bisa masuk melalui tiga, yaitu saluran harga minyak dunia, kenaikan harga pangan, dan kenaikan suku bunga," kata Dzulfian, di Jakarta, kemarin.

Menurut Dzulfian, ketiga hal tersebut harus diwaspadai karena berdampak kepada kebijakan fiskal, moneter dan juga stabilitas harga. Kenaikan harga minyak dunia, lanjut dia, akan berdampak pada besaran subsidi yang mesti diberikan pemerintah ke Bahan Bakar Minyak (BBM).

Baca Juga: