Aksi pembunuhan dan kekerasan yang dilakukan kelompok bersenjata di Papua makin meresahkan warga sekitar akhir-akhir ini. Sasaran tembak mereka kini tidak hanya kepada aparat TNI dan polisi, namun juga masyarakat umum.

Tindakan kriminal ini adalah bagian dari teror politik yang terus dilancarkan secara sporadis oleh kelompok yang menamakan dirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TNPPB).

Rabu (14/4) pukul 13.05 WIT, kelompok yang dinamai pemerintah sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) itu menembak mati pengemudi ojek, Udin, 41 Tahun, di Kampung Eromaga, Distrik Omukia, Kabupaten Puncak.

Kelompok separatis itu juga membakar rumah wakil ketua DPRD setempat di Kampung Beoga. Sebelumnya,KKBini membunuh dua guru di Beoga. KKB juga membakar sekolah di Kampung Julukoma, Distrik Beoga.

Sekitar 40 warga pendatang dari luar Papua meminta segera dievakuasi dari Beoga, ke wilayah Timika, lantaran merasa terancam kondisi keselamatan mereka

Pembunuhan dan kekerasan di tanah Papua, bukan barang baru. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meredam. Untuk meyakinan warga Papua bahwa mereka tidak pernah dianaktirikan oleh NKRI, pemerintah menyediakan dana otonomi khusus untuk provinsi ini. Jumlahnya terbilang sangat besar.

Pembangunan infrastruktur pun dikebut untuk mengejar ketertinggalan dari provinsi lain. Tapi aksi teror, pembunuhan warga, penyerangan aparat masih terus berlangsung hingga saat ini.

Kita berharap pemerintah tidak menganggap remeh situasi Papua ini. Mereka-mereka yang melakukan teror itu bukan pelaku kriminal biasa.

Kekuatan dan kemampuan mereka sulit untuk dideteksi. Mereka cukup terorganisir dengan rapi dan memiliki sponsor serta dana yang cukup besar. Mereka adalah bagian dari skenario besar untuk memisahkan Papua dari NKRI.

Karena itu, pemerintah jangan bertindak ceroboh dalam menangani aksi-aksi brutal para separatis-separatis tersebut.

Gejolak di Papua tak akan berakhir bila pemerintah tak mampu menyelesaikan empat akar masalah yang selama ini terjadi di sana. Masalah pertama tentang perbedaan perspektif antara Jakarta dan masyarakat Papua mengenai sejarah integrasi dan status politik wilayah itu.

Akar masalah kedua adalah kegagalan rencana dan pelaksanaan pembangunan di Papua. Gelontoran dana Otsus tak berbanding lurus dengan masifnya pembangunan, serta pembangunan sumber daya manusia di Papua. Malah sebaliknya, angka kemiskinan makin tinggi dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua sangat rendah. Ini anomali.

Masalah ketiga adalah persoalan diskriminasi dan stigmatisasi yang kerap dialami masyarakat Papua. Diskriminasi masyarakat Papua mencapai titik kritis setelah ada peristiwa dugaan rasialisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur pada 2019 lalu.

Akar masalah terakhir adalah persoalan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan masih maraknya kekerasan bersenjata.

Pendekatan dialog dan rekonsiliasi bisa menjadi solusi untuk mengurai benang kusut akar persoalan di Papua ini. Pemerintah Indonesia bisa mengedepankan dialog bersama seluruh elemen masyarakat Papua untuk mencari solusi bersama membangun tanah Papua dan bangsa Indonesia ke depan.

Baca Juga: