PALU - Polda Sulawesi Tengah menyatakan anggota kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) tersisa satu orang. Salah seorang anggota kelompok itu bernama Nae alias Galuh alias Mukhlas diyakini telah tewas dan dimakamkan oleh rekannya di lokasi yang masih dilacak keberadaannya oleh Satgas Madago Raya.
Dilansir VOA, Kamis (19/5), Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Irjen Pol Rudy Sufahriadi pada Rabu (18/5) memperbarui informasi jumlah anggota kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang berada dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dari jumlah dua orang menjadi tersisa satu orang yaitu Askar alias Jaid alias Pak Guru. Sedangkan, satu teroris lainnya yaitu Nae alias Galuh alias Mukhlas diyakini telah tewas dan makamkan oleh rekannya di lokasi yang masih dicari keberadaannya oleh Satgas Madago.
"Koordinasi saya dengan Densus, kita sudah dapat memastikan bahwa dari bekas-bekas yang ada, tersangka itu tinggal satu. Pak Guru," Jelas Irjen Pol Rudy Sufahriadi dalam konferensi Pers di Markas Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah di Palu. Nae alias Galuh alias Mukhlas diduga tewas karena luka tembak dalam peristiwa penyergapan yang pernah dilakukan oleh Satgas Madago Raya beberapa waktu lalu.
"Kalau memang Nae ini pernah tertembak, kita sedang cari dimana jenazahnya dimakamkan. Untuk itu bersabar, kita sedang cari bekasnya dimana, jejaknya dimana akan tetapi dapat dipastikan ini tinggal satu," tegas Rudy Sufahriadi yang sekaligus menjabat sebagai Penanggung Jawab Kendali Operasi (PJKO) Madago Raya.
24 Orang Ditangkap
Dalam kesempatan yang sama Rudy Sufahriadi menjelaskan 22 orang di Sulteng telah ditangkap oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri sejak sejak Sabtu (14/5) hingga Senin (16/5). Dari jumlah itu 19 orang ditangkap di wilayah Kabupaten Poso sedangkan 3 lainnya ditangkap di Ampana, Kabupaten Tojo Unauna, Sulawesi Tengah. Mereka ditangkap atas dugaan keterlibatan memberikan dukungan logistik dan keuangan bagi kelompok MIT. Selain di Sulteng, 2 lainnya di tangkap di Bekasi dan Kalimantan Timur. Sehingga total seluruhnya berjumlah 24 orang.
"Memiliki niat dan telah melakukan persiapan untuk bergabung bersama kelompok MIT yang di atas. Memposting di media sosial konten provokasi dan mengajarkan untuk melakukan aksi jihad. Jihad ini sangat mungkin dilakukan karena mereka sudah beberapa kali melakukan Idat (pelatihan), untuk itu Densus dibantu Polda Sulteng melakukan kegiatan penangkapan ini," jelas Rudy Sufahriadi terkait alasan penangkapan.
Didampingi Kuasa Hukum
Menanggapi penangkapan 22 orang di Poso dan Tojo Unauna itu, Andi Akbar dari Tim Pembela Muslim (TPM) Sulawesi Tengah mendesak agar para tersangka dapat didampingi kuasa hukum saat menjalani pemeriksaan oleh Polisi. Menurutnya, dari sejumlah kasus yang TPM tangani, para tersangka dugaan tindak pidana terorisme tidak diberikan ruang untuk didampingi oleh kuasa hukum.
"Ini yang kami sangat kritik dan protes keras, saya kira ini melanggar hak asasi para tersangka, selama ini mereka ditangkap, tidak diberikan ruang untuk ketemu keluarga, tidak diberikan ruang juga untuk didampingi kuasa hukum," kata Andi Akbar dalam Konferensi Pers di Sekretariat Bersama Jurnalis Sulteng di Palu.
Pembatasan itu, menurutnya, menyebabkan informasi yang disampaikan ke publik tidak berimbang karena hanya bersumber dari versi Kepolisian.
"Nah kalau mau berimbang, kami juga, tersangka yang diduga ini diberikan ruang juga untuk didampingi kuasa hukum, sehingga semua informasi itu adil dan berimbang, apalagi ini masih diduga, persoalan betul atau tidak itu di pengadilan yang menentukan bahwa memang telah terjadi apa yang dipersangkakan," kata Andi Akbar.
Andi Akbar berharap proses hukum mulai dari pemeriksaan hingga persidangan terhadap para tersangka itu tidak lagi dilakukan di luar daerah seperti di Jakarta tetapi dapat dilakukan di Sulawesi Tengah. Selama ini proses persidangan terhadap tersangka tindak pidana terorisme yang ditangkap di Sulteng dilakukan di Jakarta padahal situasi keamanan di Sulteng sangat kondusif.