JAKARTA- Target pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan menjadi 8,5 hingga 9 persen dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) 5,5- 6,3 persen dari angkatan kerja pada 2022 dinilai tidak relevan dengan alokasi anggaran dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022.

Dalam nota keuangan negara dan penyampaian RAPBN 2022 yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam sidang tahunan DPR di Jakarta, Senin (16/8), menyebutkan anggaran difokuskan pada penanganan kemiskinan ekstrem.

"Berbagai kebijakan belanja negara diharapkan dapat mendorong tercapainya sasaran pembangunan pada 2022, yakni tingkat pengangguran terbuka 5,5-6,3 persen, tingkat kemiskinan di kisaran 8,5-9,0 persen, dengan penekanan pada penurunan kemiskinan ekstrem," kata Jokowi.

Pemerintah juga, kata Presiden, mematok target rasio gini alias ketimpangan yang juga lebih rendah di kisaran 0,376 hingga 0,378 dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) naik ke kisaran 73,41 hingga 73,46. Berbagai target pembangunan tersebut lebih optimistis dibandingkan realisasi tahun ini.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS), tingkat kemiskinan pada Maret 2021 sebesar 10,14 persen atau sekitar 27,54 juta penduduk miskin. Jumlahnya mengalami pengurangan tipis 10 ribu jiwa dari periode September, namun ada catatan kenaikan 1,12 juta dibandingkan Maret 2020.

Sedangkan realisasi TPT bulan Februari 2021 tercatat sebesar 6,26 persen, turun dari TPT Agustus 2020 yang mencapai angka 7,07 persen. Sementara rasio gini per Maret 2021 tercatat 0,384.

Menanggapi target tersebut, Sekjen Fitra, Misbah Hasan, mengatakan anggaran perlindungan sosial tahun depan turun dibanding tahun ini, padahal diharapkan menjadi bantalan untuk menghindari keterpurukan dari kemiskinan dan kerentanan sosial yang lebih parah.

"Perlu diingat kalau dana perlindungan sosial dikucurkan, memang angka kemiskinan akan turun, namun sifatnya sementara. Kita belum tahu apakah akan terjadi gelombang ketiga Covid-19 atau tidak," kata Misbah.

Agar efeknya tidak bersifat jangka pendek, dia mengatakan perlu mereformasi sistem perlindungan sosial. Misalnya, dengan pengintegrasian seluruh skema bantuan sosial, pengawasan penyaluran yang ketat dengan memaksimalkan keterlibatan masyarakat dalam proses distribusi, serta penegakan hukum jika terjadi penyimpangan. "Termasuk perbaikan data yang selama ini menjadi titik rawan penyimpangan bantuan," katanya.

Tidak Diselewengkan

Rekannya, Badiul Hadi, menambahkan, anggaran perlindungan sosial pada 2022 dialokasikan sebesar 427,5 triliun rupiah atau turun 12,4 persen dibanding anggaran tahun ini sebesar 487,8 triliun rupiah.

Jumlah anggaran tersebut, jelasnya, bisa menurunkan kemiskinan dan pengangguran, asal dikelola dengan baik dan tidak ada ada penyelewengan dan korupsi anggaran. Di sisi lain, pemerintah juga harus melakukan perbaikan dari hulu ke hilir terutama data calon penerima manfaat serta memperkuat koordinasi antara pusat, daerah, hingga desa.

Baca Juga: