» Dengan memberdayakan petani, RI dapat meningkatkan produksi domestik dan mengurangi kebergantungan pada impor.
» Kita bisa belajar dari kebijakan subsidi pupuk yang naik, tetapi produktivitas padi misalnya tidak sebanding dengan kenaikan biaya subsidinya.
JAKARTA - Keseriusan pemerintah untuk meraih kembali swasembada pangan mulai terlihat dengan mengalokasikan anggaran 139,4 triliun rupiah pada 2025 atau tumbuh 22 persen dibanding alokasi anggaran tahun ini yang tercatat sebesar 114,3 triliun rupiah. Kenaikan anggaran tersebut diharapkan tidak sekadar sebagai komitmen, tetapi lebih pada seberapa efektif anggaran itu meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat petani.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto, yang diminta pendapatnya mengatakan alokasi anggaran sebesar itu memerlukan perencanaan yang matang agar dana besar yang digelontorkan benar-benar sesuai target dan tujuan peruntukan dananya. "Dana besar ini jangan hanya menguap sia-sia tanpa tercapainya tujuan," kata Dwijono. Agar program tersebut efektif, pemerintah daerah (pemda) perlu merencanakan dan mengembangkan potensi wilayah yang feasible untuk produksi pangan.
Koordinasi dengan pemerintah pusat juga diperlukan agar setiap wilayah memiliki arah yang jelas dalam memanfaatkan anggaran tersebut. Dwijono juga menekankan pentingnya target dan mekanisme hukuman bagi daerah yang gagal memenuhi target swasembada pangan. Menurutnya, pengembangan itu harus melibatkan Kementerian Pertanian sebagai aktor utama yang didukung oleh kementerian lain, seperti Kementerian Pekerjaan Umum (PU) untuk perbaikan jaringan irigasi, serta Kementerian Perindustrian dan Perdagangan dalam pengadaan dan penyaluran input pertanian.
Kementerian Koordinator bidang Pangan harus memainkan peran penting dalam mengoordinasikan kementeriankementerian terkait. Hal itu bertujuan agar keterlambatan dalam penyediaan irigasi atau input lainnya dapat segera terdeteksi dan ditangani. "Semoga koordinasinya bisa berjalan dengan baik, karena selama ini kan masalahnya memang koordinasi. Semoga semangat swasembada pangan ini sampai di level keluarga, memilih pangan lokal daripada impor," kata Dwijono.
Dari Jakarta, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan, pada satu sisi dengan alokasi anggaran yang besar bisa dilihat sebagai bentuk komitmen pemerintah mencapai ketahanan pangan.
Namun demikian, pada sisi lain, anggaran yang besar juga menyisakan persoalan terkait efektivitas. "Jika kita lihat dalam kurun 10 tahun terakhir anggaran ketahanan pangan relatif besar, namun masih menyisakan persoalan, misalnya goncangan stok dan derajat ketahanan pangan masih terus terjadi. Bahkan, persoalan dasar seperti pupuk dan lain sebagainya masih juga ditemui," kata Said. Hal itu berarti dengan anggaran yang semakin besar, semestinya tingkat ketahanan pangannya makin kuat, tanpa mengabaikan aspek efisiensi.
"Kita bisa belajar dari kebijakan subsidi pupuk yang naik, tetapi produktivitas padi misalnya tidak sebanding dengan kenaikan biaya subsidinya," kata Said. Kajian Hermanto 2021, papar Said, menunjukkan pada periode 2004-2014 subsidi pupuk naik 1452 persen, sementara kenaikan produksi hanya sekitar 30,9 persen dan produktivitas hanya naik 13,2 persen. Hal lain yang perlu dicermati adalah soal ruang penyalahgunaan dan kebocoran anggaran. Terkait hal itu, Said menekankan agar pengawasan mesti dilakukan termasuk melibatkan masyarakat luas.
Transparan dan Akuntabel
Sementara itu, pengamat Pertanian Universitas Warmadewa (Unwar), Denpasar Bali, I Nengah Muliarta, mengatakan jika penggunaan dana sebesar itu diarahkan dengan tepat untuk programprogram yang efektif, maka dampaknya terhadap ketahanan pangan nasional bisa sangat signifikan. Menurut Muliarta, salah satu hal penting yang harus dilakukan adalah alokasi yang efisien. Pembagian dana kepada berbagai kementerian dan lembaga juga harus transparan dan akuntabel.
Setiap instansi harus memiliki rencana yang jelas tentang penggunaan anggaran untuk mencapai tujuan ketahanan pangan. Tak kalah penting, kolaborasi semua kementerian untuk mengintegrasikan programprogram mereka.
Misalnya, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Kelautan perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil saling mendukung dan tidak saling bertentangan. "Guna memastikan bahwa anggaran digunakan dengan efektif, perlu ada sistem monitoring dan evaluasi yang kuat. Hal ini untuk menilai dampak dari program yang dijalankan serta melakukan penyesuaian jika diperlukan," katanya.
Salah satu program penting yakni yang mendukung petani, baik pelatihan, akses ke teknologi, maupun pasar. "Dengan memberdayakan petani, kita dapat meningkatkan produksi domestik dan mengurangi kebergantungan pada impor," kata Muliarta.
Tak hanya memacu produktivitas, tetapi juga perlu untuk mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Penggunaan metode pertanian yang ramah lingkungan dan menjaga ekosistem harus menjadi bagian dari program-program ketahanan pangan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Pangan (Menko Pangan), Zulkifli Hasan, mengatakan anggaran untuk program swasembada pangan tahun 2025 sebesar 139,4 triliun rupiah yang dibagi kepada beberapa kementerian dan lembaga terkait, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pekerjaan Umum, Badan Gizi Nasional, dan BUMN Pangan.
Adapun penyebaran anggaran tersebut antara lain digunakan untuk penyediaan pupuk sebesar 44 triliun rupiah yang diserahkan kepada BUMN Pangan, dana desa untuk ketahanan pangan sebesar 16,25 triliun rupiah, cetak sawah 15 triliun rupiah, Badan Gizi Nasional 71 triliun rupiah. "Kita akan koordinasi, nanti outputnya apa, apa yang akan dikerjakan, harus betul-betul bisa terintegrasi, terarah, sehingga target yang kita ingin capai, swasembada pangan, itu betul-betul bisa kita realisasikan," kata Zulkifli.