Biaya operasional pengelolaan sampah di DKI Jakarta terus meningkat setiap tahun seiring bertambahnya volume sampah.

Oleh Bagong Suyoto, Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas)

Biaya operasional pengelolaan sampah di DKI Jakarta terus meningkat setiap tahunnya seiring bertambahnya volume sampah. Pada tahun 2021, anggaran pengelolaan sampah mencapai Rp2,7 triliun.

Pada akun Instragram Dinas Lingkungan Hidup DKI @dinaslhdki, Selasa (8/10), yang berjudul "Pengelolaan Sampah DKI Jakarta Tidak Murah dan Tidak Mudah" Kepala Dinas LH DKI, Asep Kuswanto menegaskan, pengelolaan sampah di DKI Jakarta memerlukan biaya besar dan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat.

Partisipasi masyarakat sangat penting dalam mengurangi volume sampah dari sumbernya. Ini akan membantu meringankan beban pemerintah. Sebab hanya dengan kesadaran dan partisipasi masyarakatlah, Jakarta dapat menjadi kota yang lebih bersih dan ramah lingkungan.

Konteks anggaran tersebut diulas oleh Kosadata.com, Selasa (8/10). Pengelolaan sampah di Jakarta menelan anggaran cukup besar, mencapai Rp2,7 triliun. Anggaran jumbo untuk penanganan sampah ini hampir sama dengan anggaran satu kabupaten, misalnya Kabupaten Langkat, Sumatra Selatan.

Selanjutnya, besarnya kebutuhan anggaran pengelolaan sampah di Jakarta ini menjadi salah satu pertimbangan penerapan retribusi pelayanan kebersihan untuk masyarakat Jakarta.

"Retribusi pelayanan kebersihan ini adalah pungutan daerah sebagai imbalan atas pelayanan persampahan/kebersihan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah," katanya.

Penerapan retribusi pelayanan kebersihan itu merupakan amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2021 dan Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024, yang salah satunya mengatur soal penerapan retribusi untuk mengurangi sampah.

Dengan adanya retribusi pelayanan kebersihan, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta akan mendapatkan penerimaan sekitar Rp 887 Miliar. Namun, penerimaan retribusi sampah ini baru memenuhi 32 persen dari total kebutuhan dalam pengelolaan sampah ini adalah 2,7 Triliun.

"Jadi, hanya 32 persen dari anggaran yang tersedia. Tetapi, hal ini perlu diapresiasi karena banyak pihak yang berkomitmen dalam mengelola sampah," tegasnya.

Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencontohkan keberhasilan sejumlah kota-kota besar di dunia yang menerapkan retribusi dalam pengelolaan sampah. Retribusi sampah itu dikenal dengan istilah 'Polluters Pays Principle'.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengesahkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2024. APBD DKI Jakarta Tahun 2024 yang disahkan melalui Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 2023 ini secara resmi menentukan besaran anggaran bagi Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp 81.71 Triliun. Tidak hanya diperuntukkan bagi urusan internal pemerintahan, APBD 2024 turut dialokasikan untuk membangun Kota Jakarta melalui berbagai program hingga kebijakan, menurutBadan Perencanaan Pembangunan Daerah, Selasa, (6/2).

Khusus tahun 2024, Pemprov DKI Jakarta memiliki 6 (enam) program prioritas yang akan berdampak langsung bagi publik, yaitu: Penanganan Banjir alokasi anggaran Rp 2,89 triliun; Penanganan Kemacetan Rp 6,97 triliun; Akserasi Pertumbuhan Ekonomi Rp 1,57 triliun; Penanggulangan Kemiskinan Rp 7,44 triliun; Penanggulan Stunting Rp 1,75 trilun; Penguatan Nilai Demokrasi Rp 1,14 triliun.

Selain keenam program prioritas tersebut, alokasi APBD Provinsi DKI Jakarta 2024 juga terbagi atas 7 (tujuh) urusan utama. Yaitu urusan pendidikan, urusan kesehatan, urusan pekerjaan umum dan tata ruang, urusan perhubungan, urusan sosial, urusan tenaga kerja, serta urusan perindustrian, perdagangan, dan UMKM.

Penanganan Sampah

Alokasi anggaran pengelolaan sampah jumbo, 2,7 triliun belum tentu mampu menyelesaikan permasalahan sampah. Penanganan sampah di wilayah DKI Jakarta berdasarkan pandangan masyarakat dan temuan lapangan dapat dikatakan belum beres. Masih ada pembuangan sampah liar di sejumlah titik di wilayah indoor DKI, terutama di wilayah yang berbatasan dengan wilayah kabupaten/kota sekitar.

Sampah yang bocor ke pesisir pantai Jakarta utara masih cukup banyak, lebih-lebih ketika musim hujan. Sampah yang masuk ke pantai dan laut di wilayah Marunda perbatasan dengan Tarumaja Kabupaten Bekasi. Belum lagi tumpukan-tumpukan sampah yang ditemukan di kolong tol, kolong jembatan, pinggir sungai, dll.

Sementara sampah DKI yang dikirim ke TPST Bantargebang masih lumayan banyak, 7.500-7.800 ton per hari. Ketika musim banjir mencapai 12.000 ton per hari. Sampah yang mampu diolah relatif kecil, sekitar 15-20 ton per hari. Meskipun TPST Bantargebang mempunyai beberapa plant pengolahan sampah dengan teknologi Refused-derived Fuel (RDF), thermal/insinerasi, dll. Sedangkan plant pengomposan sudah mati dan penangkapan gas-gas sampah mati suri. Hampir semua zona penuh sampah dan paling lama 2 tahun akan mengalami komplikasi dan darurat.

Pembangunan plant pengolahan sampah dengan teknologi RDF menelan sekitar 1,2 triliun tak mampu memenuhi target 2.500 ton per hari. Hal ini diduga kualitas teknologinya rendah dan berulangkali rusak. Kondisi kurang memuaskan dialami insinerasi Merah Putih. Pendeknya, teknologi-teknologi yang digunakan kualitasnya rendah sehingga tidak memenuhi target.

Untuk mengatasi persoalan sampah DKI dan mengurangi ketergantungan beban TPST Bantargebang, Dinas LH DKI membangun plant pngolahan sampah di sejumlah tempat, seperti di Jagakarsa Jakarta Selatan, Pasar Induk Jakarta, khusus proyek Rorotan Jakarta Utara dengan nilai anggaran proyek Rp 1,3 triliun. Groudbreaking Rorotan dilakukan 13 Mei 2024. Targetnya mengolah sampah 2.500 ton per hari, dan menghasilkan bahan alternatif 875 ton per hari.

Dalam implementasi anggaran pembangunan proyek pengolahan, pilihan teknologi, dll masih terdapat masalah serius, berkaitan dengan transparansi, akuntabilitas dalam opsi-opsi teknologi. Teknologi yang dipilih mestinya berkualitas tinggi, mampu mengolah dan merduksi sampah 80-90%, dapat mengembalikan sampah menjadi sumber daya secara ekologis dan ekonomis (prinsip circular economy).

Ada pengolahan sampai dengan teknologi Pirolisis dengan tingkat reduksi sampah 70-80 persen. Ada juga Insinerasi tingkat reduksi esampah 80-90 persen, serta pengolahan sampah teknologi Plasma Gasifikasi tingkat reduksi sampah 95-100 persen. Sekarang ini sejumlah provinsi, kabupaten/kota senang memilih teknologi RDF, katanya lebih ekonomis dan ramah lingkungan.

Kita sudah mulai berpikir maju dan modern, mulai menerapkan zero waste landfill. "According to the European Environment Agency (2013), Germany was one of the first European countries to introduce landfill limiting policies in the 1990s. These included schemes for collecting packaging waste, bio-waste and waste paper separately. By 2001, Germany recycled about 48% of its municipal waste (just above NI's current level of 46.2% (as of June 2016). This increased to 62% in 2010 (well beyon the EU 2020 target of 50%), landfilling was almost 0% and incineration 37%. Northern Ireland Assembly, Research and Information Service - Briefing Paper, Recycling in Germany, 12 January, 2017).

Pemerintah Jerman punya target sangat ambisius dalam pengelolaan sampah. " ... to achive almost complete high-quality recovery, at least of municipal waste, by 2020". Seharusnya, Indonesia pun harus punya target ambisius mengadopsi kebijakan dan langkah-langkah strategis seperti yang dilakukan Jerman, Austria. Mungkin yang terdekat dapat meniru Singapore atau Jepang. (Bagong Suyoto, 2023).

Sehingga, seperti proses RDF itu menjadi salah satu wujud implementasi Smart Enviroment, sebagai sbuah pilar kota cerdas (smart city) di Jakarta. Dengan Smart Enviroment, lingkungan di Jakarta bisa dikelola dengan bertanggungjawab dan untuk menjaga keberlanjutan. (Eva Simorangkir, 17/5/2024).

Pada era reformasi dan demokratisasi, kesadaran masyarakat untuk menuntut agar keuangan negara dikelola secara akuntabel dan transparan serta bebas dari penyelewengan dan penyalahgunaan. Keuangan negara harus dikelola secara tertib, ekonomis, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan keuangan negara harus mengikuti ketentuan dan menghasilkan out put dan out come yang efektif sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan serta harus dikelola oleh orang-orang yang berkompeten, profesional disertai pedoman yang jelas sesuai dengan azas-azas tata kelola yang baik. (BPK RI, 09/11/2013).

BPK RI berperan aktif dalam menerapkan 6 (enam) prinsip Good Governance, yaitu keterbukaan dan transparansi, tanggung gugat (Accountability), penegakan hukum dan keadilan, profesionalisme dan kompetensi, keefisienan dan keefektifan, serta komitmen pada perlindungan lingkungan hidup.

Retribusi Sampah

Anggaran pengelolaan sampah DKI yang dibutuhkan sekitar Rp 7,2 triliun per tahun dan tiap tahun meningkat sejalan dengan pertambahan volume sampah. Tetapi penerimaan retribusi sampah sekitar 32 persen atau Rp 887 miliar dari total kebutuhan. Retribusi sampah sangat kecil, belum mencapai 50%, 60% atau 70%.

Apa masalahnya? Hal ini perlu ditelusuri mengapa retribusi sampah masih kecil? Dalam konteks ini retribusi sampah sebetulnya merupakan "kewajiban", karena pemilik sampah harus mengelola sendiri sampah, jika tidak bisa dikerjasamakan dengan pihak lain. Sebagaimana mandat UU No. 18/2008, PP No. 81/2012, Perda Pemprov DKI Jakarta No. 4/2019 tentang Pengelolaan Sampah dan peraturan perundangan terkait. Sebab, yang mengelola sampah warga dan entitas lain dikelola Pemerintah Provinsi DKI, maka mereka harus membayarnya.

Oleh karena itu sudah waktunya Pemprov DKI memodernisasi penataan retribusi sampah secara digital atau online, yang bisa diintegrasikan dengan pembayaran listrik, PDAM atau lainnya. Urusan pengelolaan sampah dan urusan rertibusi sampah harus dimodernisasikan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.

Bagi warga dan entitas yang rajin membayar retribusi harus diberikan penghargaan, sedang yang malas diberikan sanksi, misal sampahnya tidak diangkut ke TPS dan TPST. Bagi warga dan entitas yang mengolah sampah harus diberikan peluang dan insentif dan penghargaan sedang tidak yang mau mengelola sampah harus diberik sanksi hukum tegas.

Semua tergantung pada penegakkan hukum, birokrat dan para pimpinan politik DKI Jakarta bisakah berperilaku menjadi contoh yang terbaik dalam pengelolaan sampah? Bisakah meyakinkan Masyarakat dan entitas lain, bahwa uang retribusi digunakan secara transparan, akuntabel, efesien dan partisipatif. Termasuk para pemimpin dan tokoh DKI memberi contoh membayar retribusi sampah tepat waktu.

Oleh karena itu perlu dilakukan advokasi berkelanjutan melibatkan multi-stakeholder dalam pengelolaan sampah dan retribusi berkelanjutan sampai timbul rasa tanggung jawab penuh: "Sampahku, Tanggung Jawabku!!"

Baca Juga: