Dengan mengembangkan energi terbarukan sejak dini diharapkan belanja energi ke depan justru semakin efesien.
JAKARTA - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus direformasi dengan mengubah formula yang ada saat ini di mana porsi ke konsumsi dan pembayaran utang lebih dominan dibanding porsi untuk pembiayaan kegiatan produktif yang berdampak panjang terhadap perekonomian nasional.
Porsi belanja APBN semestinya diperbesar ke sektor-sektor, seperti pertanian, peternakan, perikanan, dan energi baru terbarukan (EBT). Sebab, sektor tersebut punya potensi meningkatkan kemandirian pangan dan energi nasional. Sektor-sektor tersebut tidak hanya menyediakan kebutuhan domestik, tetapi juga dapat menjadi motor penggerak ekspor, yang pada akhirnya mengurangi kebergantungan pada impor.
Peneliti Lingkungan Hidup dari Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, mengatakan dukungan anggaran yang mumpuni menuntut pemerintah untuk memetakan konsumsi per region, kemudian melakukan intervensi hulu dengan intensifikasi penanaman pangan dengan teknologi tepat guna. Selain itu dibarengi dengan penataan tata niaga pangan yang lebih terbuka, sehingga bisa mengurangi beban impor. Beberapa bahan pangan kunci seperti beras, kedelai, jagung, dapat diproduksi di dalam negeri secara masif dalam skala industri atau dengan pertanian modern yang berangsur-angsur dikenalkan ke petani.
Untuk daging, susu dan indukan sapi yang selama ini jadi momok impor dalam perdagangan pangan, memerlukan kerja ekstra untuk membangun ekosistem ternak yang terintegrasi dengan kerja industri-industri yang lebih presisi.
"Pertanian dan peternakan akan maju dengan intervensi teknologi termasuk menyasar lahan kering karena paling cocok untuk pertumbuhan rerumputan," kata Hafidz. Ketua Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Budi Laksana, menegaskan pentingnya dukungan anggaran yang lebih besar bagi sektor perikanan, karena memiliki potensi besar menjadi salah satu pilar ketahanan pangan nasional. Dengan dukungan anggaran yang memadai, nelayan bisa meningkatkan hasil tangkap dan meningkatkan kesejahteraan mereka, serta membuka peluang ekspor produk perikanan berkualitas yang akan mendatangkan devisa bagi negara. Investasi pada infrastruktur perikanan, seperti pelabuhan, kapal tangkap, dan teknologi budi daya ikan, sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing.
Begitu pula dengan sektor pertanian dan peternakan yang perlu perhatian khusus. Pembiayaan yang lebih besar di sektor pertanian akan mendorong inovasi teknologi pertanian, memperbaiki infrastruktur irigasi, serta memberikan dukungan finansial kepada petani untuk meningkatkan produktivitas. "Dukungan ini akan memperkuat ketahanan pangan nasional, mengurangi ketergantungan pada impor pangan, serta menciptakan lapangan kerja di perdesaan, memperbaiki kesejahteraan petani, dan meningkatkan kontribusi ekspor produk pertanian," kata Budi.
Dihubungi terpisah, Anggota Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia (IALHI), Andi Sungkowo, menyoroti pentingnya alokasi anggaran yang lebih besar untuk sektor energi baru terbarukan (EBT). "RI masih sangat bergantung pada impor bahan bakar fosil yang menguras devisa.
Jika kita serius mengembangkan energi baru terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, kita bisa mengurangi kebergantungan ini dan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim," jelas Andi. Ia juga menekankan bahwa pengembangan EBT tidak hanya akan membantu menjaga lingkungan, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru di sektor energi hijau dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Sektor-sektor penting lainnya seperti infrastruktur, riset, dan pengembangan teknologi juga harus diperkuat agar sinergi antara sektor-sektor produktif dapat berjalan optimal. Pembangunan infrastruktur yang efisien akan mempermudah distribusi hasil pertanian, peternakan, dan perikanan dari wilayah produksi ke pasar-pasar besar, baik domestik maupun internasional. Oleh sebab itu, pemerintah harus berani melakukan reformasi anggaran yang lebih berorientasi pada produktivitas jangka panjang. Strategi ini akan memperkuat ekonomi nasional dan membangun fondasi bagi masa depan yang lebih mandiri dan berkelanjutan.
Tidak Optimal
Sementara itu, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB Suhartoko, mengatakan kebijakan fiskal pro pertumbuhan layak ditempuh saat kondisi suku bunga tinggi. Masalahnya, APBN sebagai pengungkit pertumbuhan masih berkutat pada realisasi anggaran yang baru mengucur deras pada akhir tahun sehingga dampak ke pertumbuhan tidak optimal. Persoalan yang lain adalah alokasi anggaran terkunci oleh undang-undang seperti alokasi ke pendidikan, kesehatan. Kondisi itu yang membuat realokasi APBN ke sektor produktif tersandera.
"Program subsidi dan stabilisasi harga pangan ke depan harus dirancang dalam skema yang lebih komprehensif menyangkut produksi dan pola pangan dan penggunaan energi terbarukan," tegasnya. Pengamat kebijakan publik sekaligus Wakil Rektor Tiga, Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam, mengatakan sektor energi sangat strategis sehingga pendanaannya dalam APBN harus dikelola dan ditata sedemikian rupa karena belanja sektor energi selalu dalam jumlah besar.
Dengan mengembangkan energi terbarukan sejak dini diharapkan belanja energi ke depan justru semakin efesien. "Jika kita terlambat, dikhawatirkan belanja yang harus dikeluarkan APBN di masa depan akan semakin membengkak. Dengan mengadopsi energi bersih lebih awal, termasuk untuk mengembangkan pembangkitpembangkit yang potensinya beragam, maka APBN diharapkan semakin efesien, karena tidak perlu impor BBM lagi, yang harganya semakin lama semakin mahal," kata Surokim.