JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada Mei 2021 sebesar 103,39 atau naik 0,44 persen dibandingkan NTP 2021 yang angkanya 102,93. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa, BPS, Setianto, dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, Rabu (2/6), mengatakan kenaikan itu disebabkan oleh kenaikan indeks harga hasil produksi pertanian yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun biaya produksi dan penambahan barang modal.

Setianto memaparkan kenaikan NTP Mei 2021 dipengaruhi oleh naiknya NTP di empat subsektor pertanian, yaitu subsektor tanaman pangan sebesar 0,63 persen, subsektor tanaman perkebunan rakyat sebesar 1,05 persen, subsektor peternakan sebesar 0,85 persen, dan subsektor perikanan sebesar 0,78 persen.

Sementara itu, NTP pada subsektor tanaman hortikultura mengalami penurunan sebesar 2,75 persen. "Secara nasional NTP Januari-Mei 2021 sebesar 103,20 dengan nilai harga yang diterima petani (It) sebesar 111,01, sedangkan harga yang dibayar petani (Ib) sebesar 107,58," jelasnya.

NTP tertinggi tercatat di Sulawesi Utara yang naik dua persen dibandingkan kenaikan NTP provinsi lain. Sebaliknya, NTP Provinsi Papua mengalami penurunan tertinggi atau sebesar 1,21 persen dibandingkan provinsi lain.

Selain itu, pada periode yang sama juga terjadi kenaikan Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) di Indonesia sebesar 0,22 persen yang disebabkan oleh kenaikan indeks pada sepuluh kelompok pengeluaran. Dengan demikian, Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) nasional Mei 2021 sebesar 104,04 atau naik 0,48 persen dibanding NTUP bulan sebelumnya.

NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani (Ib). NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di perdesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.

Anggaran Jumbo

Menanggapi kenaikan tersebut, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, menilai anggaran jumbo di sektor pertanian tidak mampu meningkatkan pendapatan petani. Padahal, dulunya dikira anggaran gemuk bisa meningkatkan kesejahteraan petani. Faktanya, hingga kini nilai tukar petani (NTP) masih jauh dari angka ideal di poin 120 seperti yang pernah terjadi di tahun 2000-an

"Dulu kita pikir peningkatan anggaran di sektor pertanian dapat meningkatkan pendapatan petani, demikian dengan angka subsidi yang ditambah. Ternyata pada kenyataannya besarnya anggaran itu belum sepenuhnya mendongkrak pendapatan petani karena orientasi atau output-nya bukan di pendapatan, tetapi di produksi," kata Said.

Kondisi yang anomali tersebut juga bersinggungan langsung dengan aspek pasar dan pendapatan petani yang intervensinya masih terbatas. Hal lainnya, lanjut Said, harga input pertanian, walapun subsidi meningkat, ambil contoh pupuk, nyatanya petani masih mengeluarkan biaya yang cukup besar karena kelangkaan yang terus terjadi. "Belum lagi input lain seperti pesitisida yang terus menanjak yang juga didorong oleh kurang baiknya perilaku petani dalam penggunaan input pertanian sesuai aturan," katanya. n ers/E-9

Baca Juga: