Ambang batas nol persen untuk pencalonan presiden dinilai justru memiliki potensi masalah yang komplek dalam proses demokratisasi.

YOGYAKARTA - Pakar Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati menyebutkan jika ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold diturunkan menjadi nol persen justru berpotensi memunculkan masalah.

"Saya kira secara teknis itu akan menimbulkan problem yang sangat kompleks atau rumit sekali, meski argumentasinya adalah partisipasi masyarakat dan seterusnya. Apalagi kalau diizinkan untuk calon independen tentu akan menimbulkan cerita lain lagi," ujar Mada melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, kemarin.

Menurut dia, jika beberapa pihak mendorong ambang batas pencalonan presiden hingga nol persen, salah satu konsekuensi adalah semua orang akhirnya bisa mencalonkan diri menjadi presiden.

Ia menjelaskan partisipasi memang menjadi salah satu pilar demokrasi. Meski begitu, harus dikelola sehingga tidak menyulitkan proses demokratisasi. Mada menuturkan bukan berarti dengan demokrasi kemudian semua orang boleh berpartisipasi mencalonkan diri sebagai presiden, semua orang boleh ngomong apa saja sebab tentunya akan menjadikan proses demokratisasi terganggu.

Dalam demokrasi, menurut dia, tetap harus ada aturannya. Berbicara demokrasi tentu bukan hanya pada level wacana atau level narasi, tetapi harus bergerak sampai pada level praksis atau praktik.

Apabila sekadar wacana tetapi secara praktik sulit dilakukan, menurut dia, tentu akan menyulitkan proses demokrasi. "Kalau soal poin-poin besar demokrasi pasti semua setuju, partisipasi semua orang setuju, kontestasi sebagai pilar demokrasi yang equal, adil pasti semua orang setuju, tetapi bagaimana untuk menerjemahkannya dalam praktik bertata negara, dalam praktik pemilu, itu yang kemudian menjadi banyak sekali perdebatan," ujar dia.

Mada mengatakan wacana soal ambang batas atau presidential treshold sudah lama berkembang, bahkan banyak pihak beberapa kali melalui Mahkamah Konstitusi melakukan judicial review terkait UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Akan tetapi MK selalu saja menyampaikan jawaban bila legal standing terkait perubahan UU tersebut berada di DPR sebagai lembaga yang memiliki ruang terbuka untuk menafsirkan.

Namun demikian, kata dia, sejauh ini dari legal formal UU nomor 7 tahun 2017 tampaknya tidak akan direvisi atau diamendemen oleh fraksi-fraksi di DPR.

Belum Ada Tanda

Terpisah, Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani mengaku belum ada tanda-tanda dirinya akan ditunjuk sebagai bakal calon presiden dari partai berlambang banteng moncong putih tersebut. "(Saya) Belum ditunjuk, belum ada tanda-tanda juga," kata Puan di sela-sela Festival Bakar Ikan Nusantara, Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Sabtu (25/6).

Dia menegaskan penunjukan bakal calon presiden merupakan hak prerogatif Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Hal itu juga menjadi hasil Rapat Kerja Nasional II PDI Perjuangan Tahun 2021 agar seluruh kader menunggu keputusan Megawati soal bakal capres dan calon wakil presiden.

Begitu pun soal isu Ketua DPR RI itu akan "dikawinkan" dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga belum ada tanda-tanda dari PDI Perjuangan.

"Di Rakernas sudah disampaikan bahwa hak prerogatif menentukan bakal capres dan cawapres PDI Perjuangan adalah hak prerogatif Ibu Ketua Umum," tegasnya.

Dia juga meminta semua pihak harus menunggu keputusan resmi dari Megawati soal bakal capres dan cawapres usungan PDI Perjuangan.

"Kita tunggu saja bagaimana perhitungan dan bagaimana Ibu Megawati menentukan," ujar Puan.

Baca Juga: