JAKARTA -Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mengatakan bahwa pemerintah dan DPR wajib memberikan perlindungan kepada masyarakat adat dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.

"Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menghormati dan melindungi masyarakat adat, yakni dengan membuat UU," kata Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Rukka Sombolinggi di Kantor AMAN, Jakarta, Jumat (15/3).
Sejak tahun 2009, AMAN sebagai organisasi yang beranggotakan komunitas-komunitas masyarakat adat telah melakukan berbagai upaya, termasuk berdialog dengan negara agar segera membentuk UU Masyarakat Adat sebagai upaya untuk merealisasikan tuntutan pengakuan dan perlindungan negara terhadap Masyarakat Adat.
"Namun, hingga saat ini belum juga disahkan oleh DPR," ujarnya.
Menurut Rukka, tidak adanya perundangan-undangan yang mengatur tentang masyarakat adat mengakibatkan terjadinya perampasan wilayah adat, belum lagiratusan warga mengalami kriminalisasi dan kekerasan.
AMAN pun telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, di Cakung, Jakarta Timur. Sidang telah memasuki tahapan pembuktian, yakni bukti surat, saksi fakta dan juga keterangan ahli dari semua pihak untuk didengar oleh Majelis Hakim PTUN.
Rukka menuturkan konteks masyarakat adat bukanlah perihal sederhana. Mengakui atau menghormati masyarakat adat bukan saja sekedar menghargai tarian, makanan, dan motif pakaian.
"Tetapi, lebih dari itu. Negara seharusnya memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap identitas budaya dan hak-hak kami sebagai masyarakat adat termasuk diantaranya hak atas wilayah adat, dan hak untuk mengatur diri kami sendiri," paparnya.
Salah satu perempuan pejuang hak masyarakat adat dari Rendubutowe, Nagekeo NTT, Hermina Mawa menceritakan dirinya mengalami tindakan represif dari oknum aparat karena mempertahankan hak ulayat atas wilayah adat yang diambil secara paksa karena alasan proyek strategis nasional.
Dia mengaku tidak menolak sama sekali inisiatif pemerintah untuk membangun proyek strategis itu, namun lokasi pembangunan tidak pernah dibicarakan terlebih dahulu bersama masyarakat terutama menyangkut dampak dan kepastian hidup mereka.
"Tanah adat kami diambil secara paksa tanpa pembicaraan. Tanah ulayat dibagi secara berkeadilan dan merata di dalam komunitas karena tanah tersebut dipastikan menjadi pusat kehidupan tiap-tiap orang," ujar perempuan yang biasa disapa Mama Mince itu.

Baca Juga: