Setelah kontrak berakhir, aset bakal balik ke Angkasa Pura II. Jadi asetnya tetap milik AP II, yang dijual bukan asetnya tetapi hanya pengelolaannya.
Di zaman Tanri Abeng menjabat Menteri Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara ((BUMN) 1998-1999, pernah ada wacana privatisasi pengelolaan Bandar Udara (Bandara) Soekarno-Hatta. Saat itu, Royal Schiphol Group yang mengelola bandar udara Schiphol di Amsterdam, Belanda disebut-sebut bakal mengelola manajemen bandara terbesar dan tersibuk di Indonesia itu. Namun wacana tinggal wacana.
Seiring turunnya Tanri Abeng dari jabatan menteri, rencana tersebut hilang begitu saja.
Reaksi masyarakat saat itu banyak yang menolak. Karena komunikasi yang kurang bagus, banyak yang menduga saham Bandara Soekarno-Hatta bakal dijual ke asing. Padahal yang dimiliki asing adalah saham pengelola Bandara, yaitu saham PT Angkasa Pura II.
Saat Mustafa Abubakar menjadi Menteri BUMN (2009-2011), wacana pengelolaan bandar udara oleh asing muncul lagi. Saat itu ada dua nama pengelola bandara dari luar negeri yang sudah berminat, yaitu pengelola Bandara Changi, Singapura dan lagi-lagi pengelola Bandara Schiphol Amsterdam. Setali tiga uang dengan wacana yang muncul di era Tanri Abeng. Rencana pengelolaan Bandara Soekarno-Hatta oleh asing sudah tidak terdengar lagi.
Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba muncul berita alih kelola Bandara Kualanamu di Sumatera Utara dari PT Angkasa Pura II ke GMR Airport Consortium, yaitu perusahaan patungan asal India (GMR Group) dan Perancis (Aéroports de Paris atau ADP).
Banyak yang menolak alih kelola Bandara Kuala Namu ini. Mereka mempertanyakan mengapa perusahaan dari India yang mengelola bandara satu-satunya di Indonesia yang meraih 4 Star Airport dari Skytrax. Sementara India sendiri, manajemen bandaranya terkenal semrawut dan dianggap lebih jelek dibanding Indonesia. Maka tak heran jika ada video tentang Stasiun Gambir yang viral karena oleh netizen India dikira bandara.
Banyak yang tidak tau bahwa GMR dan ADP saat ini adalah perusahaan raksasa pengelola bandara di dunia. GMR Group didirikan Grandhi Mallikarjuna Rao. Saat ini GMR mengoperasikan Bandara Internasional Delhi dan Bandara Internasional Hyderabad. Selain sebagai salah satu perusahaan bandara swasta terbesar di India, GMR Group juga merupakan satu-satunya pengembang bandara India yang telah mengembangkan dan mengoperasikan bandara di luar India, seperti di Cebu, Filipina.
Sedangkan ADP tercatat mengelola sedikitnya 14 bandara udara di Perancis seperti Charles de Gaulle di Paris, Orly di Paris, dan Le Bourget yang terkenal dengan Paris Air Show-nya. Nilai kapitalisasi pasar ADP saat ini 11,52 miliar dollar AS dan tercata sebagai perusahaan pengelola bandara terbesar nomor 5 di dunia setelah Sydney Airport, Airport of Thaland, Aena (Spanyol), dan Shanghai Airport.
Dari alih pengelolaan Bandara Kualanamu oleh GMR Airports Consortium, Angkasa Pura II akan mendapat total keuntungan 1,58 triliun rupiah. Alih kelola ini untuk masa waktu 25 tahun. Nilai kerja sama mencapai 6 miliar dollar AS atau setara Rp85,6 triliun (kurs Rp14.268 per dolar) termasuk investasi dari mitra strategis sebesar Rp15 triliun.
Setelah kontrak berakhir, aset bakal balik ke AP II. Selama kontrak berlangsung, komposisi sahamnya 51 persen milik AP II dan 49 persen dikuasai GMR. Jadi asetnya tetap milik AP II, yang dijual bukan asetnya tetapi hanya pengelolaannya.
Kemitraan ini akan mempercepat pengembangan dan peningkatan daya saing bandara di kawasan Asean. Kemitraan strategis ini dapat memperkuat struktur permodalan serta memperkuat penerapan best practice global dalam pengelolaan dan pengembangan Bandara Internasional Kualanamu.
Tujuan pemerintah jelas baik dan sangat menguntungkan, hanya saja komunikasnya yang kurang jalan. Kalau komunikasi publik dari pemerintah bagus, sudah sejak 20 tahun lalu bandara kita dimanajemeni asing seperti Jakarta International Container Terminal (JICT) Tanjung Priok yang sudah sejak 1999 dikelola Hutchison Port Holdings asal Hong Kong.