Pembangunan properti dan industri di Indonesia dipastikan akan semakin mendorong tingkat konversi lahan pertanian ke lahan non-pertanian.

JAKARTA - Laju konversi lahan pertanian semakin masif dan sulit terbendung. Konversi lahan pertanian dikhawatirkan terus terjadi apabila insentif bagi petani lebih kecil dibandingkan pekerja di sektor lain, yang gajinya sesuai upah minimum kabupaten/ kota.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, menegaskan pembangunan properti dan industri di Indonesia dipastikan akan semakin mendorong tingkat konversi lahan pertanian ke lahan non-pertanian. Apabila ada sebuah kawasan petak sawah yang sudah dikonversikan ke penggunaan non-pertanian, semisal perumahan, maka akan menstimulus petak lainnya untuk dikonversi.

"Alasannya adalah rusaknya keseimbangan tata irigasi dalam satu kawasan petak sawah tersebut. Bisa jadi banjir (kelebihan air), bisa jadi kekurangan air bagi petak sawah lainnya yang belum terkonversi. Itu sudah terjadi di mana-mana," ungkapnya, di Jakarta, Selasa (12/9).

Selanjutnya, Rusli meminta pemerintah untuk menetapkan lahan abadi pertanian dengan menyediakan insentif yang nilainya setara apabila petani bekerja di sektor yang memiliki nilai upah setera UMK. Insentif tersebut bisa ditempuh dengan cara memberi biaya pendidikan gratis bagi anak-anak petani, biaya kesehatan gratis bagi para anak petani dan menjamin harga gabah sesuai harga keekonomian.

Kemudian, pemerintah perlu memperketat implementasi rencana tata ruang wilayah (RTRW) agar tidak ada pelanggaran konversi lahan pertanian ke non-pertanian sesuai penggunaan dalam RTRW.

Berdasarkan data Survei Struktur Ongkos Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi, Jagung, dan Kedelai Tahun 2014 di Provinsi Jawa Barat, penghasilan sebagai petani sawah per bulan (dalam tiga bulan masa tanam) adalah 1,001 juta rupiah per bulan per hektare pada musim tanam hujan dan 1,48 juta rupiah per bulan per ha pada musim tanam kemarau.

Besaran penghasilan ini dinilai akan dinikmati mereka dengan lahan garapan minimal satu hektare. Apabila dipukul rata dalam satu tahun, angka penghasilan petani di bawah angka tersebut karena ada jeda masa tanam.

Di sisi lain, sebagian besar petani di Jawa Barat mengolah lahan pertanian kurang dari 1 hektar ha. Pada tahun 2013 berdasarkan data Sensus Pertanian petani yang mengusahakan lahan kurang dari 1 hektare sebanyak 2,15 juta rumah tangga. Sedangkan rumah tangga dengan penguasaan lahan lebih dari1 ha hanya sebanyak 0,28 juta rumah tangga. Jadi, ada sekitar 2,15 juta rumah tangga petani yang penghasilan per bulannya dari bertani jauh di bawah angka dimaksud.

Apabila dibandingkan dengan UMK kabupaten Karawang sebagai salah satu lumbung padi Jawa Barat maka penghasilan tersebut jauh di bawah UMK Kabupaten Karawang 2014 sebesar 2,44 juta rupiah per bulan. Upah tersebut naik menjadi 3,605 juta rupiah per bulan pada 2017.

Produktivitas Turun

Pengamat Ekonomi, Bima Yudisthira, menambahkan masifnya alih fungsi lahan mengakibatkan menurunnya produktivitas lahan pertanian. Hal ini dibuktikan dari laju pertumbuhan sektor pertanian di triwulan II 2017 yang turun menjadi 3,33 persen.

"Rendahnya pertumbuhan sektor pertanian membuat kesejahteraan petani terus mengalami penurunan yang dicerminkan dari nilai tukar petani (NTP) dan upah riil buruh tani dalam tiga tahun terakhir," ujarnya.

Dampak lain dari konversi lahan pertanian yakni kian melebarnya angka ketimpangan baik gini rasio maupun ketimpangan lahan. Rasio gini di tahun 2017 tercatat sebesar 0,39. ers/E-10

Baca Juga: