SEMARANG- Proses pemungutan suara pemilihan kepala daerah serentak 2018 pada 27 Juni bisa dikatakan relatif berjalan lancar. Tidak ada riak yang mengarah pada gesekan yang bisa berujung konflik. Tapi, di tengah itu, Daftar Pemilih Tetap (DPT) masih sisakan masalah. Masih ada pemilih yang sudah pindah domisili dan telah punya e-KTP dengan alamat baru, tapi masih tercatat sebagai pemilih di tempat lama. Ini jadi pekerjaan rumah bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang punya otoritas memutakhirkan data pemilih.

Salah satu yang mengeluhkan itu adalah Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo. Saat melakukan pemantauan proses pemungutan suara di Kota Semarang, Tjahjo kaget namanya masih tercatat sebagai daftar pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) di tempat lama ia tinggal. Padahal, ia sudah tiga tahun pindah domisili dari Semarang ke Jakarta. Dia juga telah mengantongi e-KTP dengan domisili Jakarta. "Saya perlu luruskan soal nama saya masuk DPT di TPS tempat tinggal saya di Semarang. Artinya, data DPT yang dipakai KPU adalah data Pileg 2014," kata Tjahjo di Semarang, Rabu (27/6).

Ia datang ke Semarang bukan untuk mencoblos, tapi melakukan pemantauan. Tjahjo mengaku kaget, namanya masih masuk DPT. Padahal sudah lama ia telah mengajukan pindah domisili ke Jakarta, dan prosesnya telah selesai. Kini, ia sudah ber-KTP sesuai domisili di Jakarta.

"Saya sudah tiga tahun ber-KTP Jakarta, ternyata masih dapat panggilan. Dengan disaksikan Ketua Bawaslu, saya minta dicoret. Ini yang membuat saya heran," kata Tjahjo.

Dengan melihat kasus itu, lanjut Tjahjo, artinya KPU dalam memutakhirkan data pemilih belum akurat. Padahal, pemerintah sendiri untuk membantu KPU dalam memutakhirkan data pemilih telah menyerahkan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4).

Memang, kewenangan memutakhirkan data pemilih adalah otoritas komisi pemilihan. Tapi, DP4 itu sendiri memuat elemen yang lengkap NIK, nomor KK, nama lengkap, tempat lahir, tanggal lahir, status kawin, dan alamat. Tentunya ini akan sangat membantu KPU dalam memutakhirkan data pemilih sehingga hasilnya lebih akurat.

Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Sunanto, mengatakan akurasi data pemilih selalu menjadi masalah yang masih susah dipecahkan. Diperlukan keberanian. Perlu menyatukan sistem pemilih pada satu lembaga dan dikoordiansi secara berkelanjutan.

"Tanpa itu akan susah dipecahkan, apalagi perbaikannya hanya ketika mau momen pilkada, munculnya seperti kasus Tjahjo Kumolo. Itu merupakan kegagalan yang nampak, yang tak nampak banyak," katanya.

Sedangkan Kasubdit Pengelolaan Dokumen Pendaftaran Kependudukan Dukcapil, Abdul Gafur, mengatakan mencuatnya nama-nama pemilih yang ada NIK dan KK, dan kasus orang sudah pindah domisili masih tercatat dalam daftar pemilih karena sepertinya KPU ketika melakukan coklit tak pakai data DP4 yang diberikan pemerintah. Kalau DP4 yang jadi rujukan, tak akan terjadi kasus pemilih tanpa NIK.

"Kalau pakai DP4 harusnya ada NIK dan nomor KK-nya. Ini enggak ada. Mungkin mereka saat coklit tak ketemu orangnya, asal tanya tetangganya," katanya.

Abdul Gafur menambahkan, harusnya kejadian seperti itu tak terjadi kalau KPUD ketat pakai DP4. Ia yakin tak terjadi kasus pemilih tanpa NIK dan KK atau yang dialami Mendagri. ags/AR-3

Baca Juga: