Kubu demonstran prodemokrasi Thailand menyatakan akan terus menyuarakan tuntutan mereka karena yakin hal itu bisa mengeluarkan negara dari krisis.

BANGKOK - Aktivis demonstran Thailand berencana untuk melanjutkan aksi protes mereka pada akhir pekan ini untuk menyampaikan petisi pada Raja Maha Vajiralongkorn. Rencana itu dicetuskan selang sehari setelah mereka menolak pembentukan komite rekonsiliasi yang diajukan parlemen demi meredakan ketegangan politik.

"Para aktivis akan berkumpul di Monumen Demokrasi di Bangkok pada Minggu (8/11) sebelum menyerahkan petisi pada raja," demikian pernyataan perwakilan demonstran dari kelompok pergerakan pemuda, Free Youth, pada Kamis (5/11).

Petisi dari aktivis demonstran itu berisi tuntutan segera mundurnya Perdana Menteri Prayut Chan-Ocha serta pemerintahan yang dipimpinnya, konstitusi baru dan reformasi monarki.

"Tuntutan-tuntutan kami ini bukan sebuah opsi (yang bisa ditawar atau dikompromikan), namun satu-satunya cara bagi mengeluarkan negara dari krisis," demikian pernyataan dari Free Youth.

Kelompok pergerakan aksi yang dipimpin pemuda ini merupakan kelompok yang setiap hari berunjuk rasa ke jalanan di Bangkok dan sejumlah kota besar lainnya selama 3 pekan terakhir. Aksi mereka memicu munculnya kelompok gerakan tandingan promonarki yang amat menentang reformasi pada monarki.

Langkah untuk menyerahkan petisi pada raja muncul setelah beberapa hari lalu Raja Vajiralongkorn menawarkan kompromi pada demonstran saat ia dalam sesi wawancara mengatakan bahwa Thailand merupakan sebuah negara kompromi.

Pada Rabu (4/11), Free Youth menolak komite rekonsiliasi yang digagas parlemen dengan alasan bahwa komite itu merupakan sebuah taktik politik untuk mengulur waktu.

Kelompok-kelompok prodemokrasi lalu menyaran agar parlemen menggelar pemungutan suara untuk memilih perdana menteri baru yang perannya dibatasi dalam amandemen konstitusi serta meminta agar senat tak dilibatkan dalam proses pemilihan perdana menteri.

Prayut, mantan panglima militer yang mengambil alih kekuasaan dalam kudeta 2014, bisa mempertahankan jabatan perdana menteri setelah pemilu pada 2019 dengan bantuan aturan konstitusi yang disusun oleh militer dan senat yang ditunjuk junta.

PM Prayut telah berulang kali menolak untuk mundur dan pada Rabu meneken rancangan undang-undang (RUU) agar parlemen mempertimbangkan referendum bagi amandemen konstitusi.

Dalam keterangannya, PM Prayut mengatakan pihaknya terbuka bagi perubahan bagian-bagian dari konstitusi dan mencabut kekuasaan senat untuk memilih perdana menteri.

RUU Referendum

Terkait masalah RUU referendum, Bangkok Post edisi Kamis melaporkan bahwa rancangan itu telah ada ditangan parlemen. RUU tersebut dipandang perlu untuk proses amandemen konstitusi.

Juru bicara pemerintah, Anucha Burapachaisri, mengatakan RUU tersebut sedang diteruskan ke ketua parlemen untuk dimasukkan dalam agenda setelah persetujuan dari kabinet dan RUU tersebut harus sejalan dengan proses dengar pendapat berdasarkan Pasal 77 yang isinya akan memastikan partisipasi publik dalam mengubah konstitusi.

Sementara itu Wakil Perdana Menteri Wissanu Krea-ngam yang adalah ahli hukum pemerintah, mengatakan RUU referendum akan diperiksa secara bersamaan dengan draf amandemen konstitusi. Saat dilaksanakan referendum, Wissanu mengatakan bahwa publik awalnya akan ditanya satu pertanyaan yaitu apakah mereka setuju dengan amandemen konstitusi. Pertanyaan lain bisa ditambahkan kemudian tetapi prosedurnya harus sesuai dengan pasal-pasal terkait yang ada konstitusi.

Menurut Wissanu, amatlah tepat untuk komite rekonsiliasi nasional yang diusulkan untuk diminta mempertimbangkan dan memberikan pertanyaan tambahan yang mungkin diperlukan untuk referendum. SB/Bloomberg/BangkokPost/I-1

Baca Juga: