Unjuk rasa menentang kudeta militer di Myanmar semakin meluas. Hal ini terjadi setelah Aung San Suu Kyi didakwa untuk kedua kalinya.

YANGON - Para pengunjuk rasa di Myanmar pantang menyerah menyuarakan tuntutan bagi pembebasan pemimpin mereka, Aung San Suu Kyi, dan penolakan terhadap kudeta oleh militer, saat mereka kembali turun ke jalan pada Rabu (17/2).

Aksi protes yang diikuti amat banyak warga di seluruh Myanmar itu, menimbulkan kekhawatiran bakal menimbulkan eskalasi kekerasan karena pasukan militer terus dikerahkan untuk memadamkan pembangkangan terhadap junta militer.

Aksi unjuk rasa di Myanmar mulai terjadi tak lama setelah junta militer menahan Suu Kyi pada 1 Februari lalu dengan dakwaan pelanggaran undang-undang (UU) impor. Aksi protes yang makin meluas terjadi setelah pengadilan pada Selasa (16/2) menambah dakwaan pelanggaran UU penangan bencana terhadap peraih anugerah Nobel Perdamaian 1991 itu.

Aksi protes yang diikuti puluhan ribu warga terlihat di Kota Yangon dimana dalam aksi ini mereka memblokir jalanan untuk menghalangi pasukan militer masuk ke kota terbesar di Myanmar ini.

"Kami akan terus berjuang hingga titik darah penghabisan," ucap Nilar, seorang pelajar berusia 21 tahun, yang turut dalam aksi protes di Yangon. "Kita perlu menggalang persatuan dan kekuatan untuk melawan penguasa militer. Warga semuanya harus turun ke jalan," imbuh dia.

Dalam aksi-aksi unjuk rasa sebelumnya, pasukan keamanan sempat mengerahkan truk meriam air, menembakkan peluru karet dan gas air mata untuk membubarkan massa di sejumlah kota. Untuk menghalangi menyebarnya informasi unjuk rasa ini, junta militer berulang kali mematikan akses internet di sebagian besar wilayah Myanmar.

Pelapor khusus PBB bernama Tom Andrews mewanti-wanti potensi eskalasi kekerasan setelah semakin banyak pasukan dikirimkan ke Yangon dan jika terjadi bentrokan, maka situasinya bisa diluar kendali.

"Saya khawatir akan terjadi kekerasan dalam skala yang lebih besar di Myanmar kali ini. Lebih besar daripada yang kita saksikan selama ini sejak pengambilalihan pemerintah secara ilegal pada 1 Februari," kata Andrews.

"Dulu, pergerakan pasukan seperti itu yang menjadi awal pembunuhan, penghilangan orang, dan penahanan secara massal. Saya takut mengingat dua perkembangan ini, protes massal yang direncanakan dan pengumpulan pasukan, bisa membawa kita ke jurang di mana militer melakukan kejahatan yang lebih besar terhadap rakyat Myanmar," imbuh pelapor khusus PBB itu.

Pengacara Pasrah

Sementara itu pada saat bersamaan, pengacara Suu Kyi yang bernama Khin Maung Zaw menyatakan dirinya bersiap menghadapi situasi terburuk dalam persidangan terhadap kliennya. Pengacara Khin Maung Zaw juga menyatakan bahwa proses persidangan Suu Kyi ini bisa berlangsung hingga 6 bulan dan tak menutup kemungkinan persidangan akan berjalan hingga beberapa tahun jika kasusnya semakin kompleks.

"Kami menginginkan yang terbaik dan bersiap untuk menghadapi hal-hal yang buruk," ucap Khin Maung Zaw seraya berharap agar persidangan terhadap kliennya bisa berjalan secara adil.

Dalam pernyataannya, pengacara Khin Maung Zaw juga mengatakan bahwa pihaknya pada Rabu telah mengajukan permintaan untuk bertemu langsung dengan kliennya dan membahas persidangan berikutnya yang diagendakan bakal terlaksana pada 1 Maret.

AFP/I-1

Baca Juga: