Selain kendala akses ke pembiayaan, tingkat bunga kredit yang terlampau tinggi ditengarai turut menggerus daya saing UMKM RI.

JAKARTA - Pemerintah perlu lebih akseleratif lagi dalam mendorong akses pendanaan bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Rencana untuk menciptakan ekosistem dengan mengintegraskan BRI, Pegadaian, dan Permodalan Nasional Madani (PNM) harus diikuti dengan upaya penurunan bunga pinjaman. Jika tidak, UMKM domestik makin tertinggal dengan negara lain.

Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto, menyebut dari 65 juta lebih UMKM di Tanah Air, hanya sekitar 15 persen yang bisa bersaing di pasar global. Sisanya, hanya menjadi pemain di pasar domestik. Jumlah UMKM RI yang menembus pasar ekspor jauh di bawah Thailand sudah menyentuh 30 persen dan Malaysia 20 persen dari total UMKM-nya.

"Ini menunjukkan daya saing UMKM kita di pasar ekspor masih rendah. Jumlah UMKM kita memang banyak, tetapi dari sisi produktivitas diakui masih rendah. Makanya, perlunya akses pendanaan yang memadai untuk mendorong daya saingnya," tegas Eko dalam diskusi virtual Urgensi Membangun Ekosistem Ultra Mikro, di Jakarta, Senin (10/5).

Ditegaskan Eko, selama ini dukungan kredit untuk UMKM sangatlah minim, yakni hanya 19,68 persen. Angka tersebut jauh tertinggal dari Tiongkok sebesar 64,96 persen, Malaysia dan Thailand di kisaran 50 persen serta Korea Selatan (Korsel) mencapai 81,20 persen.

UMKM merupakan sektor usaha yang banyak menyerap tenaga kerja dan penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar. Sayangnya, porsi kreditnya tidak mencapai 20 persen. Saat ini, ada sekitar 57 juta usaha mikro di Indonesia, sekitar 65 persen di antaranya belum mendapatkan akses pendanaan dari lembaga keuangan formal.

"UMKM ini hanya kecipratan dari usaha besar saja, karena paling besar porsi kredit memang di usaha besar," terang dia.

Selain kendala akses ke pembiayaan, tingkat bunga kredit yang terlampau tinggi ditengarai turut menggerus daya saing UMKM RI. Sebagai catatan, tingkat bunga di RI sekitar 12 persen, sementara Malaysia dan Tiongkok hanya lima persen dan bahkan Korsel hanya empat persen.

Karena itu, Eko menilai rencana pemerintah membentuk holding ultramikro melalui integrasi BRI, Pegadaian, dan PNM harus diikuti dengan langkah menurunkan bunga. "Jangan usahanya kecil, tapi bunganya mahal. Usaha terbanyak di RI itu UMKM, maka pemulihan yang harus dipercepat itu juga harus UMKM. Jika tidak maka pemulihan ekonomi akan lambat," tandasnya.

Beri Pendampingan

Sementara itu, akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Ninasapti Triaswati, mengungkapkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun lalu menunjukkan sekitar 84 persen UMKM mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi Covid-19.

Di sisi lain, 78,35 persen alami penurunan permintaan, 25 persen UMKM makanan alami penuruan omzet, bahkan penurunannya hingga kurang dari separuhnya, kemudian 62,21 persen alami kendala keuangan dan 33,23 persen melakukan pengurangan pegawai.

"Bantuan yang diberikan ke UMKM, tidak cukup hanya dengan perbaikan regulasi melalui undang-undang, tetapi juga melalui akses pendanaan dan kesiapan infrastrukturnya ditambah pendampinan dan pembinaan," pungkas Ninasapti.

Baca Juga: