Konflik kawasan yang terus menyala bisa berpotensi memicu perang dan krisis kemanusiaan. Krisis kawasan yang cukup mengkhawatirkan tentu di Semenanjung Korea, di mana Presiden Kim Jong Un terus menebar ancaman dengan percobaan rudal dan senjata jarak jauhnya. Kemudian juga konflik di Timur Tengah antara Israel dan Palestina, serta krisis diplomatik antara Qatar dan negara-negara teluk, pimpinan Arab Saudi.

Di depan mata, di kawasan yang sangat dekat dengan Indonesia, yakni Asia Tenggara, kekerasan dan konflik yang berkobar lagi dalam beberapa hari. Aksi Militer yang didukung penguasa Myanmar telah menyengsarakan suku Rohongya yang mayoritas muslim di Rakhine. Ribuan orang berusaha keluar dari Rakhine untuk menyelamatkan diri.

Pekan lalu saja, sudah lebih 100 orang tewas akibat konflik dan kekerasan ini. Korban tewas meningkat karena bentrokan bersenjata antara tentara dan militan Rohingya berlanjut. Pemerintah telah mengevakuasi setidaknya 4.000 warga desa nonmuslim di tengah bentrokan yang berlangsung di Rakhine barat laut. Ribuan muslim Rohingya melarikan diri ke Banglades. Konflik terakhir ini berawal dari penyerangan pemberontak etnis minoritas muslim Rohingya yang menyasar 30 pos polisi, Jumat (26/8) yang menewaskan 32 orang.

Pemimpin kharismatis Myanmar, Aung San Suu Kyi, sepertinya mendiamkan kekerasan di negaranya. Bukan kali ini saja, kekerasan pada tahun lalu pun, pemenang Nobel Perdamaian tahun 1991 itu bergeming. Sikap inilah yang disayangkan para pemimpin dunia, terutama pemimpin dunia muslim. Suu Kyi lebih banyak membantah tudingan, telah terjadi genosida di Rakhine.

Suu Kyi banyak dikecam sejumlah tokoh di Tanah Air. Mereka mengusulkan agar Nobel Perdamaian dicabut dari Suu Kyi. Sebab, dia tidak mau memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang terinjak injak di Rakhine dan lebih mementingkan kekuasaannya.

Pemerintah Indonesia sendiri sangat menyayangkan kekerasan di Rakhine yang menimpa Rohingya. Indonesia minta Myanmar menghentikan kekerasan dan memulihkan ketertiban. Minggu (3/9) sore, Menlu Retno terbang menuju Myanmar untuk bertemu State Counsellor/Menlu Myanmar, Daw Aung San Suu Kyi.

Badan Dunia seperti Dewan Keamanan PBB baru menggelar pertemuan tertutup membahas krisis ini. Namun belum jelas rencana aksi PBB terkait kekerasan di Rakhine yang juga akan dibahas dalam Majelis Umum PBB September ini. Kejadian di Rakhine memprihatinkan. Sudah seharusnya masyarakat dunia menyuarakan penghentian konflik dan kekerasan yang terus berulang. Sebab setiap kali konflik, ratusan nyawa melayang, ribuan rumah dan bangunan rusak atau terbakar.

Kasus Rakhine memang bukan konflik agama, tetapi unsur itu kerap menjadi pemicu. Kepala Bidang Penelitian pada South Asia Democratic Forum di Brussel, dan peneliti pada Universitas Heidelberg, Insitut South Asia Siegfried Wolf dalam wawancara dengan Deutsche Welle.com menyatakan, kekerasan di Rakhine bukanlah konflik agama.

Menurut Wolf, komunitas warga Rakhine merasa didiskriminasi secara budaya. Mereka juga tereksploitasi secara ekonomi dan disingkirkan secara politis oleh pemerintah pusat yang didominasi etnis Burma. Dalam konteks spesial ini, Rohingya dianggap warga Rakhine sebagai saingan tambahan dan ancaman identitas mereka sendiri. Inilah penyebab utama ketegangan di negara bagian itu dan telah mengakibatkan sejumlah konflik senjata antarkedua kelompok.

Kita juga berharap, masyarakat Indonesia terus mendukung penuh penyelesaian bermartabat kasus Rohingya. Masyarakat dalam menyuarakan dukungan dan simpati pada etnis Rohingya, tidak boleh dengan cara-cara destruktif karena hanya akan membuat citra Indonesia makin jelek di mata dunia.

Baca Juga: