DENPASAR - Tujuan wisata terbesar di Indonesia, Bali, telah lama dikenal dengan pantainya yang indah, sawah yang subur, dan tempat berselancar. Tetapi pulau ini akan memiliki daya tarik lain yaitu pemeriksaan kesehatan dan perawatan kanker.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pekan lalu memimpin acara pembangunan Rumah Sakit Internasional Bali, di Sanur, zona ekonomi khusus pertama yang berfokus pada kesehatan di Indonesia.

Pemerintah berharap fasilitas baru yang dikelola negara, yang akan dibangun dalam kemitraan dengan Mayo Clinic yang berbasis di AS, akan membantu Indonesia memulihkan kerugian tahunan sebesar 97 triliun rupiah (7 miliar dollar AS) dari orang kaya Indonesia yang bepergian untuk menjalani perawatan medis di negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, karena persepsi yang buruk terhadap rumah sakit dan dokter lokal.

Menurut PricewaterhouseCoopers (PwC), pada 2015, setidaknya 600.000 orang Indonesia diperkirakan telah membayar untuk layanan medis di luar negeri, menghabiskan antara 3.000 dollar AS hingga 10.000 dollar AS per orang.

"Setiap tahun, 2 juta orang Indonesia berobat ke luar negeri, baik ke Singapura, Malaysia, Jepang, Amerika Serikat, atau negara lain. Saya sangat berharap setelah Bali International Hospital dibangun, masyarakat tidak lagi berobat ke luar negeri dan Bali menjadi destinasi wisata medis," kata Jokowi.

Rumah sakit ini diharapkan akan selesai pada tahun 2023 dan memiliki 300 bangsal dan 30 tempat tidur perawatan intensif. Ini mungkin bukan satu-satunya fasilitas di kawasan ekonomi khusus seluas 41,5 hektare, dengan Jakarta juga berencana membangun hotel, taman pantai, pusat konvensi, toko ritel, kebun raya etnomedis dan fasilitas perawatan kesehatan lainnya.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, mengatakan, Indonesia bertujuan menciptakan tujuan wisata medis di kota Medan di Sumatera Utara, dan di ibu kota Jakarta.

Sementara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan mengatakan pada November tahun lalu bahwa mungkin ada "rumah sakit berafiliasi Johns Hopkins" atau "tiga atau empat rumah sakit yang mungkin dibangun di Bali, Jakarta dan Medan di masa depan".

Dalam sambutannya, Jokowi berharap Indonesia dapat mengurangi ketergantungannya pada impor bahan baku farmasi dan alat kesehatan, mendesak industri perawatan kesehatan lokal untuk "memproduksinya sendiri".

Menurut Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, 95 persen bahan baku farmasi dalam negeri masih diimpor, termasuk parasetamol.

Tetapi menurut ahli epidemiologi dan ahli kesehatan dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengembangkan tujuan wisata medis dan mengekang jumlah orang Indonesia yang berobat ke luar negeri membutuhkan lebih dari sekadar membangun kompleks dengan fasilitas perawatan kesehatan internasional.

"Kita perlu merombak sistem perawatan kesehatan kita. Alasan utama orang Indonesia berobat ke luar negeri adalah karena pelayanan kesehatan di sini tidak ramah, efisien dan efektif seperti pelayanan yang ditawarkan negara lain," kata Pandu.

"Kitasudah memiliki banyak rumah sakit milik negara.Alih-alih membangun yang baru, pemerintah perlu merombaknya, jika orang puas dengan layanan mereka, mereka tidak akan merasa perlu pergi ke luar negeri," katanya.

Kisah-kisah pengalaman mengerikan dengan rumah sakit dan pekerja medis setempat begitu umum sehingga penulis dan komentator politik Rudi Valinka pada bulan April mencuit bahwa "jutaan orang Indonesia lebih memilih untuk mencari perawatan di Malaysia" karena "resep obat" yang efektif. Ini mendorong pengguna Twitter di Indonesia menyumbang dengan ceritanya masing-masing.

"Batuk selama empat bulan.Saya terus berganti dokter tetapi saya tidak sembuh. Seorang dokter mengatakan saya menderita tumor tetapi mereka memberi saya obat untuk TBC. Jadi saya pergi ke Penang," kata seorang pengguna Twitter bernama Allegra.

"Mereka mengetahui bahwa paru-paru saya bersih dan batuk karena maag kronis, mereka memberi saya obat selama lima hari. Itu tujuh tahun yang lalu dan saya tidak batuk lagi sampai hari ini," tegasnya.

"Saya menemukan jerawat di perut saya. Karena sakit saya pergi ke dokter, yang mengatakan bahwa saya harus menjalani operasi untuk mengangkatnya. Saya takut jadi saya mencari pendapat kedua di Singapura," kata warga net yang lain, Ngurah Wisnu.

"Dokter di sana hanya menyentuhnya dan mengatakan akan hilang dalam dua atau tiga hari. Dan mereka benar, saya bahkan tidak membutuhkan obat-obatan," ujarnya.

"Dari sudut pandang masyarakat Medan, kami lebih mempercayai dokter Malaysia atau Singapura daripada dokter di Jakarta," terang Direktur Eksekutif di Institut Reformasi Peradilan Kriminal LSM hukum yang berbasis di Jakarta, Erasmus Napitupulu, di Twitter pada bulan Mei.

Dia menambahkan satu-satunya keuntungan yang dimiliki rumah sakit lokal dibandingkan rumah sakit asing adalah mereka tercakup oleh skema perawatan kesehatan umum Indonesia.

Yang lain menunjukkan perawatan di Malaysia atau Singapura bisa lebih murah daripada di rumah, dan tingkat layanannya juga jauh lebih baik.

"Jika saya membuat janji di rumah sakit di sini, perawat akan menunggu saya di pintu pada saat janji," kata Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono.

"Kalau kita berobat di Indonesia, dokter akan memberi kita banyak obat. Di sini, mereka hanya memberi kita apa yang kita butuhkan. Ujung-ujungnya biaya pengobatan di sini lebih murah dari pada di Indonesia," ujarnya.

Pandu mengatakan untuk meningkatkan sistem perawatan kesehatan Indonesia, pemerintah perlu meninjau beberapa undang-undang, termasuk memberi insentif kepada perusahaan farmasi untuk memproduksi obat-obatan di dalam negeri dan untuk memudahkan dokter asing dan pekerja medis lainnya bekerja di negara ini.

"Beberapa regulasi tentang SDM, pajak, dan tenaga medis asing perlu diubah. Sektor swasta juga harus diberi peran lebih besar," kata Pandu.

"Sesuai aturan yang ada, tidak boleh ada dokter asing yang bekerja di Mayo Clinic di Bali," ungkapnya.

Pada Agustus tahun lalu, Menko Luhut mengatakan, pemerintah berencana "menyederhanakan" proses perizinan untuk dokter asing, tetapi hanya "dengan spesialisasi tertentu, sesuai dengan kebutuhan kita".

Pada bulan Januari, perusahaan farmasi milik negara Kimia Farma mengumumkan akan membangun pabrik penghasil parasetamol bekerja sama dengan perusahaan minyak milik negara Pertamina. Meski demikian, para pemangku kepentingan pariwisata di Indonesia menyambut baik langkah pemerintah mengembangkan wisata medis di Bali, di mana jumlah kedatangan asing menurun drastis sejak pandemi merebak.

"Ini terobosan dari pemerintah karena sejalan dengan tren pariwisata yang kita lihat di era 'normal baru' ini," kata Taufan Rahmadi, pakar pariwisata yang berbasis di pulau Lombok.

"Di Bali, orang bisa melakukan yoga, dan sekarang mereka bisa (juga berobat) di rumah sakit internasional," katanya.

"Ini juga akan memperkuat hubungan antara Bali dan Lombok, karena wisatawan dapat melakukan perjalanan singkat dari rumah sakit untuk melihat Moto GP di Lombok," terangnya.

Agar wisata medis bisa lepas landas di Bali, Taufan merekomendasikan agar Jakarta belajar dari tetangganya seperti Thailand, tujuan wisata medis terkemuka lainnya di Asia.

"Kita perlu membuat standar pelayanan kesehatan yang setara dengan yang ditawarkan Malaysia, Singapura, dan Thailand. Dan kita harus berpegang teguh padanya, agar wisatawan merasa aman dan nyaman," kata Taufan yang juga penulis Protokol Destinasi, buku tentang pariwisata di era pandemi.

Sektor pariwisata Bali belum pulih sejak dihantam pandemi tahun lalu. Meski pintu telah dibuka untuk turis asing sejak Oktober, hanya 45 turis asing yang masuk ke negara itu sejak itu, penurunan yang luar biasa dari 1,05 juta kedatangan asing yang terlihat pada 2020, dan 6,2 juta pada 2019. Pariwisata berkontribusi sekitar 66 persen dari perekonomian Bali dan menyediakan sekitar 1 juta pekerjaan bagi penduduk sebelum pandemi.

Baca Juga: