Laporan bertajuk Health at the Mercy of Fossil Fuels yang disusun oleh hampir 100 ahli dari 51 institusi di dunia melaporkan kesehatan manusia, mata pencaharian, biaya rumah tangga hingga ekonomi nasional sedang terpukul, karena kecanduan bahan bakar fosil yang menjadi penyebab krisis iklim. Sayangnya, pemerintah berbagai negara terus memprioritaskan penggunaan bahan bakar fosil meskipun ada kerusakan parah pada kesehatan masyarakatnya.

Analisa yang dipublikasi dalam jurnal medis terkemuka The Lancet itu menyebut krisis iklim yang disebabkan penggunaan bahan bakar fosil di dunia telah mendorong memburuknya kerawanan pangan, menyebabkan cuaca ekstrem termasuk gelombang panas yang berdampak pada kesehatan dan kemampuan bekerja, serta meningkatkan penyebaran penyakit menular termasuk malaria dan demam berdarah.

Melacak 43 indikator kesehatan dan iklim termasuk paparan panas yang ekstrem, para ahli menemukan bahwa kematian terkait panas pada populasi yang paling rentan telah meningkat sebesar 68 persen selama empat tahun terakhir dibandingkan dengan periode 2000 sampai 2004. Adapun kelompok paling rentan dalam hal ini ialah para bayi berusia di bawah satu tahun dan orang dewasa di atas 65 tahun.

"Kami melihat bagaimana perubahan iklim mendorong dampak kesehatan yang parah di seluruh dunia, sementara ketergantungan bahan bakar fosil global yang terus-menerus menambah bahaya kesehatan ini di tengah berbagai krisis global, membuat rumah tangga rentan terhadap pasar bahan bakar fosil yang bergejolak, terpapar pada kemiskinan energi, dan tingkat udara yang berbahaya. polusi," kata Marina Romanello, Direktur Eksekutif Lancet Countdown, dan peneliti perubahan iklim dan kesehatan di University College London (UCL), seperti dikutip The Independent.

Laporan tersebut juga mencatat dampak krisis iklim terhadap penyakit menular, di mana krisis iklim dilaporkan menyebabkan periode ketika malaria dapat ditularkan meningkat menjadi 32 persen lebih lama di daerah dataran tinggi Amerika dan 15 persen lebih lama di Afrika selama dekade terakhir, dibandingkan dengan tahun 1950-an. Kemungkinan penularan demam berdarah juga meningkat 12 persen selama periode yang sama.

Walaupun pada pembicaraan iklim Glasgow COP26 PBB, negara-negara berjanji untuk menghapus subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien sebagai bagian dari upaya untuk mengekang emisi gas rumah kaca dan beralih ke sistem energi bersih. Laporan Lancet Countdown menemukan 69 dari 86 negara yang ditelitinya secara efektif mensubsidi bahan bakar fosil, memberikan total 400 miliar dolar AS pada 2019. Angka subsidi bahan bakar fosil bahkan lebih besar dari pengeluaran kesehatan nasional di lima negara, termasuk Iran dan Mesir.

Tak hanya bagi kesehatan, laporan itu juga memperingatkan bahwa ketergantungan bahan bakar fosil juga menyebabkan harga yang bergejolak, rantai pasokan yang lemah, dan konflik seperti yang tercermin sejak invasi Rusia ke Ukraina. Ketergantungan berlebihan yang terus-menerus pada bahan bakar fosil telah mendorong dunia ke dalam krisis biaya hidup dan energi.

Panas yang ekstrim juga menyebabkan orang tidak dapat bekerja, khususnya bagi sektor pertanian di negara-negara miskin yang pada akhirnya memotong pendapatan negara. Lancet Countdown mencatat 470 miliar jam kerja hilang secara global pada tahun 2021.

"Ini adalah peningkatan sekitar 40 persen dari tahun 1990-an dan kami memperkirakan pendapatan terkait dan kerugian ekonomi sekitar 700 miliar dolar AS," katanya.

Sebagai solusi, Romanello mengatakan memotong pembakaran bahan bakar fosil dengan cepat tidak hanya akan mengurangi pemanasan global tetapi juga memberikan manfaat kesehatan langsung, seperti mencegah satu juta atau lebih kematian dini yang disebabkan oleh polusi udara dalam setahun.

"Ilmunya jelas: investasi besar-besaran dan masuk akal dalam energi terbarukan dan ketahanan iklim akan menjamin kehidupan yang lebih sehat dan lebih aman bagi orang-orang di setiap negara," jelasnya.

Baca Juga: