Guru dan belajar, dua mata rantai yang seolah tidak terpisahkan. Namun kenyataannya, banyak guru yang enggan meng-up grade pengetahuan dankemampuannya. Komunitas Guru Belajar (KGB) menjadi wadah untuk saling transformasi ilmu.

Belajar, kata yang sedari dini telah dikenal untuk menambah pengetahuan maupun keterampilan. Bahkan hanya dengan belajar, hidup seseorang dapat berubah menjadi lebih bermakna atau lebih sejahtera.

Kenyataannya kata sederhana tersebut tidak gampang diterapkan. Tidak hanya pada anak sekolah, bahkan belajar juga susah diterapkan pada sejumlah guru sekolah.

KGB menyimpulkan ada sejumlah alasan yang menyebabkan guru sebagai pendidik enggan belajar. Misalnya, belajar karena perintah atasan supaya dapat insentif (uang transport, uang saku), belajar hanya dengan ahlinya (doktor, profesor, dosen), belajar tentang bagaimana cara belajar tanpa tahu penggunaan cara belajar atau mengajarkan suatu mata pelajaran, belajar bisa diburu waktu maupun anggapan belajar bisa seorang diri.

Intinya, banyak alasan-alasan yang dibuat yang menjadi penghambat. Sejumlah alasan itu juga menyebabkan proses belajar menjadi terbelenggu.

Padahal, proses belajar dapat dilakukan dengan mengenali kebutuhan dan mempaktikkan hasil belajarnya.

Sebagai komunitas, KGB merangkumnya menjadi Siklus Guru Belajar yang dapat dilakukan melalui berbagai tahapan. Tahap penemuan berupa guru dituntun untuk menemukan inspirasi mengapa dia butuh belajar.

Tahap penalaran menitik beratkanbukan proses menghafal melainkan berpikir untuk mendapatkan pelajaran sendiri dari topik pelatihan. Tahap praktik berupa guru akan efektif belajar dengan praktik termasuk mengalami kekeliruan yang akan diperbaiki kembali.

Tahap publikasi untuk memperlihatkan hasil belajarnya ke rekan guru lainnya sehingga dapat memberi inspirasi.

KGB mencermati bahwa guru memiliki potensi yang luar biasa namun mereka kurang didengar dan kurang dipahami oleh pengambil kebijakan.

"Sehingga, guru tidak mendapatkan dukungan dan kesempatan yang dibutuhkan untuk melakukan pengambangan diri," ujar Najelaa Shihab, inisiator KGB kepada Koran Jakarta, Rabu (7/2).Kualitas guru dianggap memadai untuk turut mencerdaskan anak didik bahkan jika dibandingkan negara lain.

"Salah kaprah kebijakan pengembangan guru membuat praktik pengajaran di kelas masih satu arah dan tidak mengembangkan potensi murid," ujar dia. Dengan kebijakan tepat, potensi guru bisa berkembang lebih cepat dari yang dibayangkan.

Selama ini, KGB melakukan kegiatan dalam beberapa tahap, mulai penemuan, penalaran, dan publikasi. Tahap penemuan, yaitu berupa ajang temu pendidik di Telegram setiap Jumat malam dengan narasumber dan moderator bergantian dari setiap daerah.

Lalu, temu pendidik bulanan di Facebook Live setiap bulan dengan moderator dariKampus Cikal Bakal. Adalagi, Temu Pendidik Daerah setiap dua bulan sekali dan Temu Pendidik Nusantara setiap tahun.

Tahap selanjutnya merupakan Tahap Penalaran merupakan pelatihan yang dipandu Kampus Guru Cikal dan Komunitas Guru Belajar dari berbagai daerah. Yang terakhir, Tahap Publikasi yang merupakan penerbitan surat kabar dan penerbitan buku berisikan praktik cerdas pengajaran.

KGB merupakan komunitas pendidik untuk berdiskusi dan berbagi praktik cerdas pengajaran dan pendidikan yang diinisiasi Kampus Guru Cikal. KGB percaya bahwa belajar bisa dari siapa saja, bukan hanya dari figur yang serba tahu dan sempurna.

Kampus Guru Cikal yang merupakan wahana pembelajaran untuk para guru yang menginisiasi Komunitas Guru Belajar pertama kali saat Temu Pendidik Nusantara pada 2015. Saat ini, anggotanya telah ada di sejumlah daerah.

Anggota KGB terbuka untuk umum yang memiliki semangat belajar. "Mau dan penuh semangat untuk belajar, dari siapa saja, kapan saja dan dimana saja," ujar Bukik Setiawan, penggerak KGB.

Walaupun saat ini anggotanya terdiri dari guru negeri dan swasta, guru lintas jenjang dari PAUD sampai SLTA, guru sekolah formal maupun pendidikan non formal. Mereka saling bertukar ilmu supaya guru tidak berhenti untuk belajar. din/E-6

Saling Mengajar, Tak Sekadar Mengejar Gelar

Dalam pengertian umum, belajar diartikan sebagai proses untuk menambah ilmu. Hanya terkadang, proses belajar yang diembel-embeliuntuk mendapatkan sertifikat atau proses yang kaku justru membelenggu makna belajar.

Tapi, jika belajar dilakukan secara merdeka, maka akan mampu memicu semangat pendidik untuk menambah pengetahuan. Lalu seperti apa belajar yang merdeka itu?

Belajar tidak sekadar transformasi, belajar adalah proses. Itulah yang dirasakan Titis Kartikawati, 39, dalam memaknai proses belajar setelah bergabung dengan KGB 2015 silam. Ia tertarik dengan konsep merdeka belajar dan konsep kolaborasi di antara anggotanya.

Konsep tersebut berbeda dengan konsep pembekalan untuk para guru yang terbilang kaku dan formil yang selama ini dialaminya. "Sistemnya santai, (belajar) bisa di rumah teman, cafe atau taman, jadi belajar tidak membosankan," ujar dia yang dihubungi Kamis (8/2).

Narasumber yang kerap menjadi pembicara tidak selalu berasal dari pakar. Para anggota menjadi narasumber dalam sejumlah pertemuan. Peran tersebut mampu meningkatkan kepercayaan diripara anggotanya. "Kami belajar saling menghargai, percaya diri dan selalu berbagi praktik cerdas sehingga bisa bermanfaat untuk orang lain," ujar dia yang juga guru SD kelas 6 di Sanggau, Kalimantan Barat ini.

Hasil kolaborasi tersebut dapat saling memperkaya pengetahuan para guru. Sebagai contoh guru SD adalah guru serba bisa dalam semua mata pelajaran.

Di saat pelajaran seni tari, tidak semua guru memiliki kemampuan menari atau cara mengajarkannya. Bersama komunitas, mereka membuka kelas tari untuk guru-guru yang ingin belajar menari.

"Kami memfasilitasi guru untuk belajar secara merdeka. Belajar bukan untuk mengejar gelar dan sertifikat," ujar ketua KGB Sanggau yang mengawali karirnya sebagai guru kampung ini.

UsmanDjabbar Mappisona, 35, berpendapat bahwa saat ini dunia pendidikan mengalami darurat cerdas mendidik. "Hari ini, kita darurat praktik cerdas mendidik. Banyak sekali model mendidik yang dikembangkan yang tidak didasarkan atas kebutuhan peserta didik itu sendiri," ujar dia yang bergabung di KGB empat tahun silam.

Model didik yang dikembangkan cenderung liar, tercerabut dari karakter refleksinya. Siswa tidak tahu apa yang mereka pelajari. Di sisi lain guru bingung apalagi yang mesti diajarkan.

Saat bergabung dengan KGB, Guru Bimbingan Konseling, SMA Negeri 20 Gowa, Sulawesi Selatan ini mendapatkan pemahaman baru bahwa pendidik perlu memahami kekuatan dan mengenali area yang perlu dikembangkan secara terus menerus.

Usman merasakan beratnya menjadi guru konseling yang membawahi sebanyak 311 siswa. Bersama KGB Makassar yang dipimpinnya, kini dia dapat menjembatani permasalahan yang dihadapi selama proses belajar mengajar dengan saling berbagi pengalaman dan saling "mengajar". din/E-6

Membentuk Relasi Manusiawi Guru dan Murid

Guru dan murid merupakan relasi yang tak terpisahkan. Hal tersebut terjadi, karena mereka berada di ruang yangsama selama proses belajar mengajar. Memanusiakan hubungan keduanya dapat membuat proses belajar menjadi lebih efektif.

Memanusiakan hubungan bertujuan untuk mengajak guru dan murid memiliki relasi secara manusiawi. Murid sebagaimana guru, mereka butuh untuk didengarkan, dipahami dan dipercaya agar nyaman dan gemar belajar.

"Tidak ada murid yang senang belajar dengan guru yangtidak disukai," ujar Bukik Setiawan, penggerak KGB yang tahun lalu melakukan kampanye 'memuliakan hubungan' yang tujuannya membangun relasi guru dan murid yang manusiawi.

Pasalnya, jika relasi guru dan murid tidak manusiawi, kelas akan menjadi tempat permainan kekuasaan. Alhasil, semua pihak merasa tidak aman dan nyaman berada di dalamnya.

Bukan hal mustahil, kekerasan akan terjadi di ruang belajar tersebut, baik yang dilakukan oleh guru murid maupun orang tua. "Tergantung siapa yang mempunyai kekuasaan relatif lebih besar dibandingkan kekuasaan pihak lain," ujar dia.

Peristiwa pemukulan guru oleh murid yang terjadi di Sampang, Madura menjadi contoh kurang harmonisnya relasi guru dan murid. Peristiwa tersebut menewaskan Ahmad Budi Cahyanto (26), guru seni rupa, SMAN I Torjun (SMA Tor) Sampang, Madura.

"Kondisi ini yang ingin kami ubah dengan 'memanusiakan hubungan'. Mari kembali membangun relasi berdasarkan kesediaan saling mendengar, memahami dan percaya satu sama lain," ujar dia.

Meski tidak sebesar orang tua, guru memiliki peranan besar terhadap tumbuh kembang muridnya. Guru memiliki otonomi di ruang kelas untuk mengajar dan mendidik para murid. Bukan terkait kurikulum, KKM maupun dinas pendidikan namun guru akan menentukan suasana dalam kelas. "Apakah akan menjadi suasana gemar belajar atau terpaksa belajar," ujar dia. din/E-6

Baca Juga: