Jika masalah pengangguran tidak diantisipasi, maka perguruan tinggi akan menjadi salah satu penyumbang terbesar pengangguran terdidik di Indonesia.

Robby Jannatan, Universitas Andalas

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2022 mencapai 8,42 juta orang. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2022 mencapai 5,86%.

Tingkat pengangguran yang tinggi ini juga dipengaruhi oleh rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi, terutama dalam menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung lebih kepada padat modal daripada padat karya, sehingga angka pengangguran terbuka dan tingkat kemiskinan terus meningkat.

Perkembangan teknologi digital telah menciptakan disrupsi ekonomi secara global dan bisa meningkatkan jumlah pengangguran karena banyak pekerjaan yang bisa diambil alih oleh teknologi.

Sebuah stasiun televisi, misalnya, mulai menggunakan kecerdasan buatan sebagai pengganti pembaca beritanya. Hal ini menyebabkan tenaga kerja di Indonesia menghadapi tantangan baru, semisal pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan teknologi karena modernisasi mesin perusahaan yang tidak lagi mengandalkan sumber daya manusia.

Solusi dari hulu

Perguruan tinggi menjadi salah satu penyedia terbesar tenaga kerja terdidik selain sekolah menengah kejuruan. Jika masalah pengangguran dan ekonomi tidak diantisipasi, maka perguruan tinggi akan menjadi salah satu penyumbang terbesar pengangguran terdidik di Indonesia.

Sayangnya, masih ada lulusan perguruan tinggi negeri yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Sebagai contoh, berdasarkan survei alumni Universitas Indonesia (UI) tahun 2021, sebanyak 9% lulusan mereka masih atau sedang mencari kerja dan belum bekerja setelah dua tahun lulus. Sementara itu, laporan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menunjukkan bahwa masih ada 5% mahasiswa angkatan 2015 yang sudah lulus tapi belum bekerja pada tahun 2022.

Persentase ini akan terakumulasi jika ditambahkan dengan lulusan tahun-tahun sebelumnya yang masih mencari kerja. Fenomena ini juga banyak ditemukan pada perguruan tinggi lain dengan persentase yang bervariasi.

Apa yang bisa dilakukan oleh universitas?

1. Menyediakan lembaga persiapan dan pengembangan karir

Perguruan tinggi perlu mempunyai lembaga yang mewadahi persiapan dan pengembangan karir calon lulusannya. Lembaga tersebut dapat berbentuk pusat karir atau Career Development Center (CDC).

Berdasarkan jumlah keanggotaan Indonesia Career Center Network (ICCN), organisasi pusat karir perguruan tinggi Indonesia, hanya 139 pusat karir di perguruan tinggi di Indonesia yang tergabung dalam organisasi ini. Hal ini menandakan bahwa masih banyak perguruan tinggi di Indonesia yang belum peduli terhadap keberadaan dan pentingnya pusat karir.

Bahkan, meskipun pusat karir tersebut telah ada, di beberapa universitas, lembaga tersebut hanya diurus oleh beberapa orang dan tidak mendapat dukungan penuh oleh pimpinan perguruan tinggi. Hal ini terbukti dari keluhan dari beberapa anggota ICCN yang mengikuti kegiatan ICCN Summit 2023 yang diadakan di Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu lalu.

Hotpascaman Simbolon dari pusat karir Universitas HKBP Nommensen, Medan, Sumatera Utara, mengatakan bahwa dia hanya sendirian dalam mengurus program pengembangan karir di universitasnya. Pernyataan tersebut didukung juga oleh pegiat pusat karir dari perguruan tinggi lain.

Padahal, pusat karir dapat bertanggung jawab dalam melakukan tracer study. Data hasil tracer study dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan kurikulum, rekomendasi kebijakan, pengadaan kegiatan pengembangan karir, dan hal-hal penting lainnya.

Selain itu, pusat karir juga dapat difungsikan sebagai penyedia pelatihan dan pembekalan karir bagi calon lulusan dalam mempersiapkan diri sebelum menghadapi masa setelah studi.

Universitas Andalas, Sumatra Barat, contohnya, berhasil menurunkan jumlah lulusan mereka yang belum bekerja sebanyak 7% selama setahun (2022-2023) dengan berbagai macam program, salah satunya adalah kegiatan pembekalan karir bagi calon wisudawan yang akan lulus di setiap periode wisuda.

2. Integrasi mata kuliah praktik dengan magang

Strategi lain yang bisa dilakukan adalah mengintegrasikan mata kuliah praktikum di laboratorium atau lapangan dengan kondisi sebenarnya ketika magang. Contohnya pada bidang ilmu biologi, teknis dan teori yang didapatkan oleh mahasiswa selama praktikum di laboratorium kampus bisa diaplikasikan dan dikembangkan dengan magang di laboratorium pemerintah atau swasta seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Taman Nasional Baluran, Seameo Biotrop, Burung Indonesia, Sintas Indonesia. Integrasi tersebut bisa dilakukan jika kurikulum yang dikembangkan mengakomodasi kegiatan pembelajaran di luar kampus.

Program pemerintah yang ada sekarang yaitu Merdeka Belajar Kampus Merdeka sudah mewadahi kebutuhan ini. Namun, kendala yang dihadapi oleh perguruan tinggi di tingkat program studi (prodi) adalah lemahnya kemampuan dalam mengadopsi kebijakan tersebut. Dengan Merdeka Belajar, prodi harus merombak sistem (kurikulum) yang sudah mapan sehingga membutuhkan energi dan sumber daya yang cukup. Selain itu, masih terdapat kurangnya pemahaman prodi dalam menyusun konsep dan struktur kurikulum. Sehingga, revisi kurikulum menjadi salah satu cara di tingkat program studi untuk mengakomodasi kebijakan-kebijakan nasional tersebut agar terimplementasikan dengan lebih baik.

3. Kemitraan dengan pengguna lulusan

Hal lain yang dapat menjadi strategi adalah membangun kemitraan dengan pengguna lulusan baik di sektor pemerintahan maupun swasta. Kemitraan dengan industri dan lembaga pengguna lulusan lainnya perlu diperbanyak sehingga membuka peluang mahasiswa untuk lanjut bekerja setelah magang.

Sebagai contoh, Vika Widya yang dulu magang di Sintas Indonesia ketika mahasiswa, sekarang menjadi staf biodiversitas di lembaga yang sama setelah lulus.

Selain itu, banyak stakeholder dan lembaga pencari tenaga kerja yang saat ini mensyaratkan sertifikasi kompetensi dari lembaga nasional seperti Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), bagi calon tenaga kerja. Sebagai contoh, berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No.2 Tahun 1992 terdapat kebutuhan ahli keselamatan dan kesehatan kerja (K3 Umum) yang tersertifikasi. Peraturan ini menyebutkan bahwa perusahaan yang memiliki pegawai lebih dari 100 orang atau memiliki risiko pekerjaan yang tinggi, wajib mempunyai minimal seorang ahli K3 umum untuk memastikan keamanan dan keselamatan kerja.

Keberadaan sertifikat semacam ini memudahkan calon tenaga kerja membuktikan kompetensinya sesuai kebutuhan perusahaan. Universitas, melalui prodi, bisa membangun kerja sama dengan lembaga sertifikasi sehingga lulusan mereka mempunyai sertifikasi yang dibutuhkan sebelum lulus.

Dengan mengintegrasikan semua solusi di atas, perguruan tinggi dapat menciptakan lulusan yang mempunyai masa tunggu bekerja yang singkat dan mendapatkan pekerjaan sesuai kualifikasi. Sehingga, jumlah pengangguran terdidik bisa berkurang dan adaptasi terhadap disrupsi ekonomi dan digital pun bisa terlaksana dengan cepat.The Conversation

Robby Jannatan, Lecturer of Biology, Universitas Andalas

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Baca Juga: