JAKARTA - Bank Pembangunan Asia (ADB) menyatakan meskipun sebagian aktivitas sudah kembali dibuka, namun permintaan akan produk-produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia masih menurun pada 2021.
Senior Ekonomis Asian Development Bank (ADB), Shigehiro Shinozaki, dalam webinar bertajuk "Asian Impact: ADB Research in Action", di Jakarta, Kamis (19/8), mengatakan pelonggaran aktivitas sejak pertengahan tahun 2020 lalu belum signifikan membantu pelaku usaha. "Pelaku UMKM masih menghadapi penurunan permintaan dan pendapatan yang tajam," kata Shigehiro.
Berdasarkan data yang diperoleh dari survei yang melibatkan 2.509 pelaku UMKM Indonesia, ADB menemukan bahwa penutupan usaha mikro telah menurun dari 48 persen pada Maret-April 2020 menjadi lima persen periode yang sama tahun 2021. Sementara itu, penutupan usaha kecil menurun dari 54,4 persen menjadi 1,8 persen, dan penutupan usaha menengah menurun dari 31,3 persen menjadi 6,3 persen.
Namun demikian, pelaku UMKM yang mengalami penurunan permintaan domestik yang memengaruhi pendapatan masih meningkat. Usaha kecil yang mengalami penurunan permintaan domestik meningkat dari 27,9 persen pada Maret-April 2020 menjadi 60,2 persen di periode yang sama 2021, usaha kecil dari 40 persen menjadi 68,7 persen, dan usaha menengah dari 43,8 persen menjadi 64,6 persen.
"Beberapa pelaku UMKM telah berhasil mengatasi kondisi tanpa cash yang serius. Namun, jumlah pelaku UMKM yang akan kehabisan modal kerja dalam 3-6 bulan ke depan mengalami peningkatan," imbuhnya.
Dalam survei yang sama, hanya 28,1 persen pelaku usaha mikro, 10,1 persen pelaku usaha kecil, dan 6,3 persen pelaku usaha menengah, yang tercatat sudah tidak memiliki dana kas atau simpanan pada Maret-April 2021.
Persentase itu berkurang dibandingkan periode yang sama tahun lalu, di mana 55,8 persen pelaku usaha mikro, 40 persen pelaku usaha kecil, dan 31,3 persen pelaku usaha menengah, mengaku sudah tidak memiliki cash atau simpanan sama sekali.
Dia berharap pemerintah harus memberikan perhatian kepada pelaku UMKM yang akan kehabisan modal kerja dalam 3-6 bulan ke depan karena jumlahnya meningkat.
Anggaran Jumbo
Menanggapi kondisi tersebut, Ekonom Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, menyinggung anggaran penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional atau PEN belum banyak dirasakan masyarakat.
"Dua tahun APBN dibelanjakan untuk Covid-19 dalam jumlah jumbo. Tahun 2020, senilai 677 triliun rupiah dan pada 2021 senilai 744 triliun rupiah. Jadi, anggaran Covid yang sudah dialokasikan sebanyak 1.421 triliun rupiah. Itu dana yang besar sekali," kata Salamuddin.