JAKARTA - Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 mendatang. Dalam laporan Asian Development Outlook Supplement edisi Desember 2022, ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat menjadi 4,8 persen pada 2023.

Perkiraan tersebut lebih rendah dari sebelumnya sebesar 5,0 persen. ADB mengungkapkan alasan dipangkasnya proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena pada tahun depan pertumbuhan akan tertahan oleh melambatnya ekspor barang.

Hal tersebut seiring dengan melemahnya perekonomian di negara maju, konsumsi swasta kembali ke tren pertumbuhan, dan pengetatan kebijakan fiskal dan moneter. Untuk proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini, ADB masih mempertahankan proyeksinya di 5,4 persen untuk setahun penuh.

"Sejauh ini di tahun 2022, konsumsi swasta terus tumbuh di atas tingkat tren sebelum pandemi, dan investasi meningkat," tulis laporan ADB seperti dikutip Senin (19/12).

Adapun, tingkat inflasi di Indonesia rata-rata diprediksi menjadi 4,2 persen pada tahun ini atau lebih rendah dari proyeksi sebelumnya, meski masih berada di atas target Bank Indonesia (BI) yakni sebesar 2 persen hingga 4 persen.

Sementara, ADB juga menetapkan proyeksi inflasi untuk 2023 direvisi turun sedikit menjadi 5,0 persen. "Untuk alasan yang sama- output di bawah potensi penuh, pasokan yang cukup menahan harga pangan, ekspektasi inflasi yang stabil, dan bank sentral telah memulai babak pre-emptive kenaikan suku bunga kebijakan," jelas ADB.

Hadapi Inflasi dan Resesi

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar mengatakan, perekonomian pada 2023 benar-benar menantang karena dihadapkan pada inflasi dan resesi yang dalam penyelesaiannya saling bertentangan. Dunia akan dihadapkan pada kenaikan tingkat inflasi dan risiko resesi dalam waktu bersamaan pada 2023.

"Tahun depan tantangan ekonomi makro ada dua. Apakah menghadapi inflasi, sehingga harus meningkatkan tingkat suku bunga agar inflasi turun, atau menghadapi resesi yaitu menurunkan tingkat suku bunga sehingga ekonomi bergerak," kata Mahendra dalam webinar bertajuk Sosialisasi dan Edukasi Perlindungan Konsumen, di Jakarta, Senin (19/12).

Otoritas moneter, jelasnya, tidak memungkinkan untuk mengatasi kedua hal tersebut sekaligus, yang mana tugas utamanya hanya mengendalikan tingkat inflasi, bukan menanggulangi pelemahan ekonomi.

"Kalau dia menggunakan obat penanggulangan inflasi maka dampak kepada pertumbuhan ekonomi di luar kompetensinya, bukan di situ tugas BI (Bank Indonesia) atau bank sentral lainnya di mana pun seluruh dunia, tapi di penanggulangan stabilitas harga," kata Mahendra.

Dengan demikian, menurut dia, apabila harga melambung tinggi dan dibarengi perekonomian yang melemah, pemerintah harus turun tangan mengatasi hal tersebut dengan mendorong pertumbuhan.

"Tahun depan, dua hal itu terjadi sekaligus. Inflasinya tinggi, resesinya berat. Jadi mau naikkan tingkat bunga, makin resesi. Tidak naikkan tingkat bunga, inflasinya naik terus," kata Mahendra.

Selain itu, tahun 2023 masih dihadapkan pada konflik geopolitik yang para analis memperkirakan belum akan selesai dalam waktu 10 tahun ke depan. Hal itu tentunya akan mempengaruhi logistik dan rantai pasok di tingkat global.

Dia menyebut para analis hingga lembaga multilateral memperkirakan ekonomi Indonesia dan kawasan Asia Tenggara akan tetap tumbuh positif di kisaran 5 persen year on year (yoy) pada 2023. "Bagaimana ini kok bisa? Jawabannya karena kita memiliki pasar dalam negeri dan pasar kawasan yang besar. Pasar dalam negeri ini yang harus dioptimalkan aspek konsumsinya, investasinya, aspek belanja pemerintahnya," katanya.

Dalam kesempatan itu, dia mengatakan Indonesia harus menstimulasi sumber pertumbuhan-pertumbuhan baru di daerah, sebagai bekal untuk menghadapi ketidakpastian perekonomian global pada tahun-tahun mendatang.

MAHENDRA SIREGAR Ketua Dewan Komisioner OJK

Tahun depan, akan terjadi Inflasi tinggi dan resesi berat. Jadi mau naikkan tingkat bunga, makin resesi. Tidak naikkan tingkat bunga, inflasinya naik terus.

Perioritaskan Insentif

Pengamat ekonom dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, mengatakan suku bunga merupakan cara terakhir. Pemerintah diminta mengedepankan kebijakan insentif serta kemudahan untuk menjaga agar uang tetap berputar di dalam negeri.

"Sebetulnya sekarang pun kita sudah mengalami inflasi sekaligus resesi, yang dikhawatirkan tahun depan adalah kelanjutannya. Sekarang, kita tetap kuat karena perang masih berlangsung. Selama perang ada, harga komoditas tetap tinggi. Yang perlu dipikirkan pemerintah adalah bagaimana menjaga keuntungan para eksportir itu tidak dibawa ke luar negeri, supaya tetap berputar dalam negeri. Ini perlu pengawasan khusus. Daripada meningkatkan suku bunga, lebih baik lewat kebijakan insentif," katanya.

Baca Juga: