MANILA - Integrasi ekonomi di Asia Pasifik kini mendekati ekonomi di Uni Eropa (UE) dari segi rantai nilai kawasan dan integrasi sosial, menurut laporan yang dirilis Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) pada Senin (26/2).

Seperti dikutip dari Antara, berdasarkan Indeks Kerja Sama dan Integrasi Regional Asia Pasifik (Asia-Pacific Regional Cooperation and Integration Index), kawasan ini menunjukkan integrasi yang sebanding dengan UE dalam hal rantai nilai regional, serta integrasi masyarakat dan sosial, berdasarkan Asian Economic Integration Report 2024.

"Kemajuan paling signifikan terlihat pada dimensi teknologi dan konektivitas digital di Asia dan Pasifik, didorong oleh penerapan kebijakan transformasi digital oleh banyak perekonomian, yang lajunya meningkat selama pandemi virus korona (Covid-19)," ungkap laporan tersebut.

Menurut laporan ADB tersebut, integrasi regional telah menjadi penahan yang sangat krusial bagi berbagai guncangan global dan telah membantu mengurangi dampak negatifnya.

Meskipun proteksionisme dan risiko fragmentasi global meningkatkan tantangan ekonomi, peningkatan kerja sama dan investasi untuk konektivitas dapat memperkuat ketahanan ekonomi dan memberikan manfaat bersama, menurut laporan ADB.

"Dialog dan diskusi yang lebih erat mengenai kebijakan regional akan membantu perekonomian-perekonomian Asia untuk menghadapi tantangan dan risiko kerentanan rantai pasokan dan perubahan iklim dengan lebih baik," demikian laporan tersebut.

Pertumbuhan Ekonomi

Sebelumnya, Direktur ADB untuk Indonesia, Jiro Tominaga mengatakan ADB mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 di level 5 persen dalam Asian Development Outlook (ADO) Desember 2023 karena permintaan domestik semakin berperan sebagai pendorong pertumbuhan.

"Tingkat pertumbuhan 5 persen ini cukup besar di tengah semua hal yang terjadi di global," kata Jiro.

Jiro menyampaikan, permintaan domestik telah mengambil alih dari peran ekspor komoditas sebagai pendorong pertumbuhan. Ketika lonjakan ekspor mulai berkurang, kontribusi permintaan domestik terhadap pertumbuhan kembali seperti sebelum pandemi Covid-19.

Ke depan, normalisasi penuh dari mobilitas dan daya beli yang lebih tinggi, dengan inflasi yang lebih rendah akan memicu kembalinya belanja.

Dia berpendapat, Indonesia dengan cepat pulih dari pandemi. Pertumbuhan rata-rata Indonesia tercatat sebesar 5,3 persen selama 2011-2019, sebelum turun sebesar 2,1 persen pada 2020 karena Covid-19.

Berkat kebijakan makroekonomi pemerintah yang tepat waktu, tepat, dan berani, PDB Indonesia tumbuh sebesar 3,7 persen pada 2021 dan 5,3 persen pada 2022. Selain itu, Indonesia mendapatkan kembali status ekonomi berpendapatan menengah atas, berdasarkan perkiraan Bank Dunia mengenai pendapatan nasional bruto nominal per kapita pada 2022.

Jiro mengatakan tugas Indonesia pascapandemi yakni meningkatkan pertumbuhan melebihi 6 persen. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) memperkirakan agar Indonesia bisa menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045, PDB harus meningkat setidaknya persen setiap tahunnya.

"Hal ini merupakan salah satu tantangan dalam jangka menengah ke depan," ucap dia.

Maka dari itu, ia menilai Indonesia membutuhkan reformasi struktural yang berkelanjutan untuk mendorong pengembangan dan produktivitas sumber daya manusia, memperbaiki lingkungan bisnis, serta reindustrialisasi sektor manufaktur dapat meningkatkan potensi pertumbuhan.

Di sisi lain, kata dia, tingkat inflasi Indonesia kembali ke kisaran sasaran. Lantaran guncangan harga komoditas pada 2022 mereda, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) umum turun dengan stabil dan berada pada kisaran target 2 persen hingga 4 persen sejak Mei 2023.

Untuk keseluruhan tahun ini, ADB memproyeksikan inflasi domestik rata-rata mencapai sebesar 3,6 persen, dengan asumsi tidak ada guncangan harga global.

Baca Juga: