JAKARTA - Utang luar negeri kita saat ini sudah mencapai lebih dari 7.000 triliun. Dan ini harus ditanggung oleh negara dalam jangka waktu yang lama. Dengan kata lain Presiden berikutnya setelah Jokowi harus menanggung utang yang sedemikian besar. Hal ini sangat dilematis karena di sisi lain Presiden kedepan harus mampu menjalankan program-program kerjanya dengan lebih baik. Tentunya memerlukan anggaran yang cukup untuk membiayai program-program tersebut. Ini akan seperti menelan buah simalakama, karena secara bersamaan Presiden berikutnya harus membayar utang-utang negara juga.
"Utang-utang ini akan menjadi sendatan Presiden ke depan untuk bisa melakukan percepatan pembangunan. Jika nanti situasi ekonomi belum membaik dikhawatirkan Indonesia kembali terjebak utang yang akan semakin membesar," Demikian diungkapkan oleh Pakar Kebijakan Publik Narasi Insitute, Achmad Nur Hidayat dalam rilis yang diterima redaksi, Rabu (20/4).
Achmad memaparkan, dari sumber resmi bahwa per 31 Desember 2021 utang luar negeri pemerintah pusat sebesar Rp. 6.914 triliun, utang luar negeri pemerintah daerah sebesar Rp. 70,30 triliun, utang korporasi publik keuangan sebesar Rp. 5.541,70 triliun, utang korporasi pulik non keuangan sebesar Rp. 1.012,84 triliun. Dan jika ditotal keseluruhannya menjadi Rp. 13.448.83 triliun hampir 85% dari total PDB Indonesia.
"Utang ini akan positif bila disalurkan untuk proyek-proyek yang memilik return, akan tetapi ternyata faktanya tambahan utang saat ini tidak efisien untuk mendukung pembangunan dan produktivitas," kata Achmad.
Sementara, pembayaran bunga utang terus meningkat yang dibarengi dengan subsidi yang cenderung turun. " Ini bisa kita lihat dari alokasi anggaran APBN. Artinya hal tersebut sifatnya fundamental dan struktur, sehingga siapapun presidennya, dari manapun dia datang, dia harus menjalankan APBN seperti ini."
Untuk itu, menurut Achmad Nur Hidayat, presiden yang sedang menjabat saat ini harus bisa meringankan beban yang akan menjadi penggantinya nanti dengan lebih fokus bekerja hingga selesai masa jabatan. Mengerjakan pekerjaan-pekerjaan strategis yang mampu mendatangkan pendapatan negara secara signifikan dan menyelesaikan kewajiban-kewajiban terkait utang dimasa jabatannya sehingga penggantinya mempunyai fleksibilitas tinggi dalam membiayai program kerjanya dimasa yang akan datang.
"Dari tahun 2017 sampai tahun 2022 Indonesia membayar utang melampaui 3 anggaran belanja yang langsung ke sektor masyarakat kecil dan sektor produktif. Diprediksi tahun 2022 cicilan hutang kita sebesar Rp. 405 triliun, sementara subsidi-subsidi sosial hanya sekitar 190 hingga 200 triliun. Ini amat disayangkan, APBN yang kita punya porsinya hanya untuk membayar utang plus bunganya," papar Achmad.