OSLO - Kelompok HAM pada Senin (26/6) melaporkan, tindakan keras pihak berwenang Iran terhadap protes setelah kematian Mahsa Amini telah menewaskan sedikitnya 76 orang.

"Kami menyerukan kepada masyarakat internasional untuk secara tegas dan bersatu mengambil langkah-langkah praktis untuk menghentikan pembunuhan dan penyiksaan para pengunjuk rasa," kata Direktur Hak Asasi Manusia Iran (IHR) Mahmood Amiry-Moghaddam.

"Rekaman video dan sertifikat kematian yang diperoleh oleh kelompok itu menunjukkan "amunisi langsung ditembakkan kepada pengunjuk rasa," kata IHR.

Seperti dikutip dari alarabiya, dikatakan, kematian telah tercatat di 14 provinsi di Iran. Sebanyak 3 kematian telah dicatat di Teheran, dan 35 kematian dilaporkan di Provinsi Mazandaran dan Gilan, utara Teheran, dan 24 di provinsi barat laut yang berpenduduk Kurdi di Azerbaijan Barat, Kermanshah, Kurdistan dan Ilam, tambahnya.

IHR juga mengatakan "sebagian besar keluarga telah dipaksa untuk diam-diam mengubur orang yang mereka cintai di malam hari dan ditekan untuk tidak mengadakan pemakaman umum".

"Banyak keluarga diancam dengan tuntutan hukum jika mereka mempublikasikan kematian mereka," ungkapnya.

Kematian Amini menyusul penangkapannya oleh polisi moral memicu demonstrasi nasional. Wanita berusia 22 tahun itu telah ditangkap karena diduga melanggar aturan ketat Iran tentang jilbab dan pakaian sederhana.

Media pemerintah menyebutkan jumlah korban tewas 41 orang, termasuk beberapa personel keamanan, dan menyalahkan "perusuh". Ratusan orang juga telah ditangkap, 20 di antaranya wartawan.

"Risiko penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap pengunjuk rasa serius dan penggunaan peluru tajam terhadap pengunjuk rasa adalah kejahatan internasional," kata Mahmood.

"Dunia harus membela tuntutan rakyat Iran untuk hak-hak dasar mereka," ujarnya.

Kantor hak asasi manusia PBB juga mengatakan sangat prihatin dengan tanggapan kekerasan pihak berwenang dan mendesak mereka untuk menghormati hak untuk melakukan protes secara damai.

Demonstrasi anti-pemerintah telah menyebar ke lebih dari 80 kota besar dan kecil di seluruh Iran sejak pemakaman Mahsa Amini pada 17 September.

Amini dilaporkan pingsan setelah dibawa ke pusat penahanan untuk "dididik" dan meninggal di rumah sakit setelah tiga hari dalam keadaan koma.

Polisi mengatakan Amini meninggal setelah menderita gagal jantung mendadak, tetapi keluarga menolaknya dan menuduh bahwa dia dipukuli oleh petugas.

Protes terhadap polisi moral dan undang-undang hijab yang dipicu oleh kematiannya dengan cepat berkembang menjadi tantangan paling serius yang dihadapi ulama Muslim Syiah Iran selama bertahun-tahun.

Video yang diunggah di media sosial telah menunjukkan para wanita dengan berani membakar jilbab mereka di api unggun dan memotong rambut mereka di depan umum untuk sorak-sorai dan nyanyian "Perempuan, hidup, kebebasan" dan "Matilah diktator", referensi untuk Pemimpin Tertinggi, Ayatollah Ali Khamenei.

Pada Senin, protes dilaporkan meluas di Teheran dan sejumlah kota lain, termasuk Yazd, di pusat negara itu, dan Tabriz dan Sanandaj, di barat laut. Siswa dan guru di lebih dari 20 universitas juga melakukan aksi mogok dan keluar dari ruang kelas mereka.

Para pejabat Iran juga telah mengumumkan penangkapan lebih dari 1.200 orang.

"Pasukan keamanan Iran harus menghentikan tindakan represif mereka terhadap jurnalis yang menceritakan kisah kritis ini dan memulihkan akses internet yang sangat penting untuk membuat publik mendapat informasi," kata Komite Perlindungan Wartawan (CPJ).

Sementara itu, Presiden Ebrahim Raisi telah berbicara tentang perlunya "mengambil tindakan tegas terhadap penentang keamanan dan perdamaian negara".

Baca Juga: