JAKARTA - Tahun 2021 Indonesia secara resmi mulai menggelar teknologi 5G. Teknologi berkecepatan tinggi diharapkan mampu mendorong ekosistem Internet of thing (IoT) di Indonesia. Teknologi tersebut merupakan platform yang mampu mendorong berbagai inovasi di segala sektor, salah satunya IoT.

"5G adalah platform yang mampu mendorong terciptanya inovasi, di sektor eMBB, Mobile Edge Computing (MEC), Network Slicing, Massive IOT dan Ultra Low Lag,"tutur VP Internet of Things Telkomsel, Alfian Manullang, dalam webinar Telset Techtival 2021 pada Selasa (11/1.

Khusus mengenai IoT, Alfian mengatakan teknologi 5G mampu meningkatkan implementasi produk IoT di sektor industri manufaktur. Berdasarkan kolaborasi Telkomsel dan Schneider Electronics di Batam, ternyata 5G mampu mendukung beberapa use case IOT seperti Industrial IOT, Augmented and Virtual Reality, Lean Digitization System (OEE), dan Energy Efficiency menjadi lebih maksimal.

"Melalui kolaborasi dengan Schneider, kami ingin menjadi pionir atau benchmark dalam pemanfaatan 5G, sebab dengan IOT yang didukung 5G kita bisa mendapatkan output yang lebih baik dari segi produktivitas, efisiensi dan keselamatan," lanjut Alfian.

Product Manager Xiaomi, Calvin Nobel mengatakan, teknologi 5G bisa mendorong perusahaan untuk membawa lebih banyak produk AI dan IoT (AIoT) ke tanah air. Apalagi saat ini Xiaomi telah memiliki lebih dari 2.000 produk, dan sudah memiliki lebih dari 400 juta pengguna di seluruh dunia.

"Dengan adanya 5G, Xiaomi bisa membawa produk-produk yang lebih banyak dan menyeluruh sehingga semua orang lebih aware terhadap produk dari Xiaomi. Selanjutnya kita akan membawa lebih banyak produk lain ke indonesia," katanya.

Menurut Ketua Umum Asosiasi IoT Indonesia (Asioti) Teguh Prasetya, terdapat sejumlah tantangan yang terjadi untuk ekosistem IoT di Indonesia. Setidaknya ada 4 tantangan yang dihadapi oleh pengembang IOT.

Tantangan pertama adalah soal literasi di kalangan executive level dan masyarakat umum mengenai IoT. "Banyak yang belum mengerti mengenai IoT sehingga perlu adanya edukasi dan sosialisasi secara masif dan terstruktur," jelas Teguh.

Kedua adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih minim, khususnya SDM yang telah memiliki sertifikasi dan spesialis di bidang IoT. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu adanya training, assessment dan pembinaan yang menyeluruh, mulai dari pendidikan dasar hingga vokasi.

"Minimnya SDM menjadi kendala dan jawabannya adalah melakukan training dari pendidikan dasar hingga vokasi. Hal ini dapat dilakukan oleh lembaga formal maupun mandiri dan online. Tujuannya agar banyak SDM yang mempunyai skill IoT," sambungnya.

Ketiga adalah keterbatasan kapital baik dalam bentuk investasi awal dan insentif mengenai IOT. Jawaban dari tantangan ini yakni dengan fleksibilitas pola implementasi mulai dari OPEX, Bagi Hasil, Hibah/Socialpreneur dan Sponsorship.

Keempat adalah masalah komponen elektronik seperti importasi dan kelangkaan pasokan. Teguh menyarankan agar perlu adanya kemudahan dan pemberian insentif impor komponen. "Hal ini dinilai diperlukan untuk pembuatan industri komponen elektronik seperti chip di Indonesia. Kita berharap bisa mengatasi kelangkaan supply, dengan menggunakan produk chip lokal yang ada," saran Teguh.

Dia menyimpulkan bahwa IoT akan terus bertumbuh dengan pesat sejalan dengan pengembangan otomatisasi di semua sektor kehidupan masyarakat. Selain itu, pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan pengembang IoT untuk bisa membentuk ekosistem yang saling bersinergi agar dapat bertumbuh dengan cepat.

Baca Juga: