Menurut studi IDC yang dilakukan bersama GBG tentang Next Gen Financial Management Solution, kejahatan identitas dan pencucian uang akan terus menjadi ancaman bagi industri. Sementara itu, meningkatnya perdagangan mata uang kripto berpotensi menambah risiko penipuan di pasar tersebut.

GBG - sebagai perusahaan teknologi global dalam bidang identitas digital - pun merilis 4 hal terkait tindak kejahatan dan penipuan finansial digital yang dipredisi berkembang dalam industri perbankan dan jasa keuangan tahun ini.

Hal pertama adalah, bahwa tindak penipuan akan tumbuh dalam wujud teknologi canggih maupun rendah.

Tidak diragukan lagi bahwa Kejahatan Keuangan 4.0 akan terus tumbuh dan berkembang pada 2022. Terutama dengan semakin banyaknya bank dan layanan keuangan yang merilis produk/layanan digital baru, seperti pertukaran kripto dan penawaran pinjaman.

Selain itu, semakin banyak layanan keuangan yang masuk ke platform digital membuat para pelaku kejahatan finansial menyatukan diri mereka ke dalam lingkaran penipuan global yang kompleks, di mana mereka saling berbagi intelijen dalam ekosistem yang saling terhubung, serta mulus mengoordinasikan kejahatan identitas, pencucian uang, dan kampanye rekayasa siber. Secara bersamaan, saat taktik digital sudah lebih canggih, para pelaku kejahatan finansial juga diperkirakan menggandakan jumlah tenaga kerjanya.

Hal kedua adalah ketika bank dan lembaga keuangan (LK) mengandalkan perluasan, dan peningkatan data guna mengatasi semakin canggihnya kejahatan keuangan. Menurut studi IDC, 48,9% bank dan lembaga keuangan mempertimbangkan (machine learning) tidak tersupervisi sebagai fungsi yang penting. Ini karena performa model tersebut dipengaruhi oleh data yang ada, akan diperlukan adanya peningkatan permintaan terhadap kumpulan data yang lebih kaya dan luas, seiring meningkatnya permintaan terhadap pembelajaran mesin dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence.

Studi yang sama menemukan, bank-bank dan lembaga keuangan telah mengeksplorasi sumber data baru bagi solusi penipuan dan kebijakan mereka, termasuk kecerdasan perangkat dari ponsel dan tablet, pencocokan identitas media sosial dan jaringan profesional, serta data telekomunikasi seperti informasi panggilan yang bersifat real-time. Sumber data yang semakin luas ini memungkinkan bank dan lembaga keuangan memperkuat lini pertahanan mereka terhadap penipu yang meluncurkan serangan dari banyak saluran digital, termasuk situs web, panggilan teks, email, dan aplikasi seluler.

Hal ketiga adalah ketika bank dan lembaga keuangan lebih memilih untuk membeli dan menyewa sistem manajemen kejahatan keuangan dibanding membangun sendiri. Studi IDC menemukan bahwa 76,8% bank dan lembaga keuangan lebih memilih untuk membeli solusi manajemen kejahatan finansial atau memanfaatkan jasa dari penyedia solusi untuk memerangi sumber penipuan di masa depan. Jumlah ini meningkat dari 63% pada sekarang.

Bank dan lembaga keuangan semakin melihat penyedia solusi manajemen kejahatan finasial sebagai mitra konsultatif dan mempercayai mereka untuk menyediakan tinjauan sistem berkala, manajemen yang lebih baik, dan pemantauan secara terus-menerus. Selain itu, bank dan lembaga keuangan juga mengandalkan efektifitas vendor-vendor tersebut untuk mengimplementasikan solusi manajemen kejahatan finansial mereka dengan lebih cepat dibanding menunggu hingga sistem deteksi dan pencegahan penipuan selesai dibangun.

Sedangkan hal keempat adalah meningkatnya adopsi cloud publik pada bank dan lembaga keuangan di Asia Pasifik dan Indonesia. Di samping itu, migrasi ke layanan cloud juga akan menjadi tren yang meningkat di sektor ini.

Menurut studi IDC, 68% dari bank dan layanan keuangan yang saat ini menggunakan solusi lokal yang dikelola oleh tim TI internal diprediksi untuk beralih ke solusi berbasis cloud di 2022. Hasil studi juga menunjukan bahwa adopsi cloud publik, yang dikelola oleh vendor internal bakal mencapai 66% dari seluruh bank dan lembaga keuangan, yang mana angkanya saat ini telah naik dari 53%.

Managing Director APAC di GBG, Dev Dhiman menjelaskan bahwa setelah memasuki fase digitalisasi, bank dan Lembaga keuangan perlu mempertimbangkan strategi investasi manajemen kejahatan keuangan dengan lebih berhati-hati. "Pada dasarnya, perlu adanya pendekatan yang lebih berkelanjutan dan holistik dalam hal memastikan sumber daya TI memadai, serta memiliki skalabilitas yang cepat untuk menumbuhkan saluran dan model bisnis baru, mampu mengelola kompleksitas tipologi fraud saat ini dan yang akan datang, agar dapat melindungi para nasabahnya dengan lebih baik," ungkapnya dalam keterangan tertulis, Rabu (16/2).

Baca Juga: