Sulitnya mencetak peneliti kelas dunia dari Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, antara lain minimnya dukungan finansial, fasilitas, dan rumitnya birokrasi.

Daniel, Universitas Gadjah Mada

Status World Class University (WCU) yang ditargetkan pemerintah akan tercapai, salah satunya jika semakin banyak world-class researcher atau peneliti kelas dunia yang berasal dari Indonesia.

Faktanya, per Oktober 2023, hanya ada 92 peneliti Indonesia yang masuk dalam daftar Top 2 Percent World Ranking Scientist dari total 210 ribu peneliti top, atau sekitar 0,04%.

Data lain menunjukkan bahwa tidak ada satupun peneliti Indonesia yang masuk dalam 7000-an highly cited researcher pada tahun 2023. Indonesia juga hanya berada di peringkat 55 dunia berdasarkan jumlah publikasi ilmiah internasional bereputasi, kalah dari Singapura, Vietnam, Thailand, dan Malaysia.

Ini mengindikasikan bahwa meskipun Indonesia memiliki jumlah penduduk terbanyak nomor empat di dunia, kita masih "anak bawang" dalam kancah riset internasional. Sudah menjadi anak bawang, dunia riset dan akademis kita juga terus diguncang berbagai skandal.

Fenomena sulitnya mencetak peneliti kelas dunia dari Indonesia ini disebabkan oleh banyak hal, antara lain minimnya dukungan finansial, fasilitas, dan rumitnya birokrasi.

1. Kendala finansial

UNESCO menyebutkan bahwa rata-rata anggaran penelitian negara-negara berpenghasilan menengah ke atas adalah 1-2% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara di Indonesia, hanya 0,02% dari PDB yang dialokasikan untuk penelitian.

Meski terjadi peningkatan anggaran penelitian dalam 1-2 tahun terakhir, jumlah ini masih perlu terus ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas riset dan pemerataan luaran penelitian.

2. Minim fasilitas

Fasilitas alat dan laboratorium kita masih terbatas dan menyulitkan peneliti untuk melakukan riset berkualitas. Kolega saya di UGM dan ITB, contohnya, menyebutkan bahwa mereka terpaksa melakukan analisa Emerging pollutants (EPs) dan Contaminants of Emerging Concern (CECs) sebagai parameter-parameter kimia dan farmasi, ke luar negeri, dikarenakan minimnya lab di Indonesia yang bisa menganalisa hal tersebut.

Terlebih lagi, peneliti tidak diperbolehkan membeli alat laboratorium (non-habis pakai) jika mendapat dana hibah penelitian RIIM dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ini menyulitkan peneliti di kampus untuk mempunyai peralatan laboratorium yang berkualitas. Sementara dana dari kampus terbatas dan 'menunggu giliran', semisal untuk pembangunan gedung atau penambahan ruang kelas terlebih dahulu.

Selain itu, berdasarkan pengalaman saya di kampus, proses pembelian peralatan laboratorium yang mahal dan berkualitas biasanya cukup rumit dan memakan waktu lama, karena harus melalui rekanan yang terdaftar, proses konsultasi, atau lelang untuk menghindari penyalahgunaan anggaran.

3. Belitan birokrasi

Kendala lainnya terkait proses birokrasi riset yang rumit dan lamanya pencairan dana penelitian. Berdasarkan pengalaman penulis, dana penelitian dari pusat seringkali molor dan baru turun sekitar bulan Juli-Agustus. Sementara, publikasi hasil penelitian sudah harus selesai atau diserahkan ke jurnal di bulan November atau sebelum tutup tahun anggaran.

Padahal, menurut pengalaman penulis, riset mengenai kesehatan misalnya, membutuhkan waktu pengambilan data minimal enam bulan. Ini belum termasuk waktu analis data dan penulisan jurnal, untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dan layak terbit di jurnal top internasional.

Investasi jangka panjang sebagai solusi

Situasi di atas memerlukan berbagai solusi.

Pertama, pemerintah perlu mendorong peneliti Indonesia untuk berkiprah di kampus-kampus top luar negeri. Jika kita melihat daftar profesor di kampus-kampus top dunia, maka kita akan melihat banyaknya orang Cina dan India berada di sana. Bahkan, Cina dan India mendominasi peneliti asing di Amerika Serikat (AS), sementara peneliti dari Indonesia tidak masuk daftar 25 besar.

Kiprah di luar negeri akan menghasilkan kolaborasi yang lebih kuat antara kampus top tersebut dengan institusi negara asal. Cina melakukan "strategi" ini dan secara tidak langsung meningkatkan kualitas riset mereka.

Kedua, perlunya pembiayaan penelitian yang bersifat multiyears. Saat ini, hampir semua pembiayaan penelitian yang berasal dari pemerintah hanya berjalan satu tahun. Peneliti perlu mengajukan hibah penelitian baru pada tahun berikutnya. Ini membuat para peneliti tidak dapat melakukan penelitian secara mendalam dan berkesinambungan, karena adanya ketidakpastian yang tinggi untuk mendapatkan dana di tahun berikutnya.

Ketiga, universitas harus memberikan lebih banyak kesempatan post-doc bagi para dosen. Saat ini, tanggung jawab di kampus menyulitkan dosen untuk meninggalkan pekerjaan mereka untuk waktu yang cukup lama.

Misalnya, kampus sulit untuk melepas dosennya melakukan post-doc karena kekurangan dosen untuk kegiatan pengajaran di kampus. Padahal, kesempatan post-doc di kampus luar negeri akan membuka jejaring kolaborasi baru dan meningkatkan kemampuan dosen itu sendiri.

Keempat, peningkatan kualitas peneliti memerlukan kolaborasi yang kuat antara dunia industri atau pihak swasta dengan universitas. Salah satu tantangan dunia penelitian Indonesia adalah kurangnya diseminasi dan penerapan dari penelitian yang dilakukan di kampus kepada masyarakat. Padahal, dunia industri dapat menjadi pihak yang menerapkan hasil penelitian itu di masyarakat.

Industri dapat juga menjadi sumber pendanaan bagi penelitian sehingga universitas tidak hanya mengandalkan pembiayaan riset dari pemerintah. Program Matching Fund-Kedaireka yang dibuat sejak 2021 sudah mewadahi ide ini. Tetapi perbaikan tetap harus dilakukan untuk memperkuat kolaborasi dunia industri dan perguruan tinggi.The Conversation

Daniel, Lecturer in Public Health, Universitas Gadjah Mada

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Baca Juga: