Murni Sianturi, UNSW Sydney; Jung-Sook Lee, UNSW Sydney, dan Therese M. Cumming, UNSW Sydney
Papua menghadapi tantangan serius dalam dunia pendidikan. Selain persoalan literasi dan prestasi akademik siswa, dampak dari degradasi budaya dan krisis identitas siswa Papua juga semakin kuat.
Penggunaan bahasa asli Papua di kalangan siswa semakin menurun. Pemahaman terhadap adat istiadat, tradisi, dan kearifan lokal Papua juga semakin rendah.
Salah satu akar permasalahannya adalah kesenjangan antara kurikulum yang digunakan dengan nilai-nilai, tradisi dan warisan budaya orang Papua.
Di sekolah, anak-anak Papua lebih banyak terpapar informasi yang berkaitan dengan budaya lain seperti Jawa dan Sumatra, sedangkan perhatian terhadap budaya Papua sangat terbatas.
Buku-buku pelajaran juga cenderung didominasi karakter anak-anak non-Papua, sementara representasi karakter anak Papua hampir tidak ada. Kalaupun ada, informasinya sering tidak sesuai dengan budaya asli Papua.
Bagaimana caranya agar pendidikan di Papua mencerminkan nilai-nilai dan budaya lokal dengan lebih baik?
Jawabannya terletak pada konsep pendidikan inklusif, kolaboratif, dan integratif.
Pendekatan inklusif
Pendidikan inklusif adalah pendekatan yang memberikan akses dan kesempatan kepada semua anak, dengan berbagai kondisi dan dari berbagai latar belakang budaya, suku dan identitas, sehingga mereka dapat belajar dan tumbuh bersama dengan menghormati perbedaan satu sama lain. Direktorat Pendidikan Dasar menyebutkan bahwa pendidikan inklusif dapat mencegah diskriminasi.
Sayangnya, pendidikan di banyak sekolah di Papua masih belum inklusif. Selain absennya budaya Papua dan karakter anak-anak Papua dalam kurikulum dan buku pelajaran, tindakan diskriminatif yang terjadi di sekolah baik yang dilakukan oleh guru maupun siswa non-Papua, membuat anak-anak Papua merasa tidak nyaman berada di sekolah.
Dari 22 orang tua Papua yang saya wawancarai untuk penelitian saya, mayoritas menyebutkan bahwa anak-anak mereka sering dirundung di kelas. Anak-anak non-Papua melabeli mereka hitam, keriting dan bodoh. Dalam kasus seperti ini, banyak orang tua menilai bahwa sebagian besar guru non-Papua lebih memihak kepada anak non-Papua.
Menurut para orang tua tersebut, ketidakseriusan dan ketidakadilan guru dalam menangani tindakan diskriminatif sering menimbulkan ketegangan dan bahkan perkelahian antara siswa Papua dan non-Papua. Bahkan, 2 orang tua melaporkan, akibat tindakan diskriminatif yang berujung pada pertengkaran, anak mereka mengalami trauma dan memutuskan tidak bersekolah lagi.
Kolaborasi pemangku kepentingan
Sekolah, orangtua, komunitas adat Papua, dan pemerintah harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung kebutuhan semua anak Papua.
Pentingnya kerja sama tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 serta Panduan Pengembangan Kurikulum Operasional di Satuan Pendidikan.
Tetapi, realita pelaksanaannya masih problematik. Di satu sisi, sekolah sering mengeluhkan orang tua Papua acuh tak acuh dan kurang kompeten dalam pendidikan anaknya. Di sisi lain, pelayanan sekolah yang kurang maksimal membuat orang tua dan masyarakat apatis.
Disinilah pentingnya membangun hubungan relasional yang kuat antara guru dengan orang tua dan komunitas adat Papua. Komunikasi yang terbuka dan saling menghormati menjadi dasar dalam menciptakan hubungan tersebut. Bahasa informal, sapaan akrab seperti "Mama" dan "Bapa" serta kunjungan periodik ke rumah orang tua dapat menciptakan atmosfer yang hangat.
Selain itu, menciptakan rasa kepemilikan atas sekolah dan pendidikan kepada orang tua dan komunitas adat Papua sangatlah penting. Terutama karena konsep pembelajaran kolaboratif dan berbasis komunitas adalah salah satu filosofi pembelajaran orang Papua.
Lebih dari sekedar pemangku kepentingan, orang tua dan komunitas lokal seharusnya menjadi co-leaders (pemimpin bersama) dalam seluruh aktivitas pendidikan di sekolah. Mereka dilibatkan dalam pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program-program pembelajaran, karena merekalah penjaga pengetahuan dan penasihat budaya, yang dapat memberikan masukan dalam pengembangan kurikulum, serta membantu memelihara kebudayaan dan tradisi Papua di luar sekolah.
Penelitian saya tahun 2018, menunjukkan bahwa ketika salah satu orang tua siswa diundang untuk mengajarkan proses pembuatan Noken (tas tradisional Papua) di dalam kelas, siswa tampak antusias bertanya dan mencatat hasil diskusi mereka. Aktivitas ini menghadirkan pengalaman nyata budaya Papua ke dalam pembelajaran, sehingga meningkatkan kepercayaan diri, kemampuan berkomunikasi dan literasi siswa.
Integrasi budaya dan bahasa
Banyak peneliti dan pemerhati pendidikan di Papua yang menyerukan implementasi pendekatan pembelajaran kontekstual dan berbasis budaya Papua di sekolah. Artikel terbaru saya merangkum 5 poin penting terkait filosofi dan pendekatan pedagogi Papua yaitu relevansi budaya, perspektif holistik, tradisi lisan dan penceritaan, pembelajaran kolaboratif dan berbasis komunitas, serta pembelajaran berbasis tempat atau lingkungan.
Budaya tidak hanya identitas, tetapi juga sumber pengetahuan yang tak ternilai. Dalam konteks Papua yang kaya akan budaya, mengabaikan budaya lokal dalam pendidikan berarti mengabaikan aspek penting dari identitas siswa Papua. Integrasi budaya lokal memberikan siswa ruang untuk menghargai identitas mereka sendiri dan memperoleh rasa percaya diri yang lebih besar.
Lebih dari itu, integrasi budaya lokal juga membantu mengatasi hambatan dalam proses belajar-mengajar. Pemahaman mendalam tentang budaya lokal memungkinkan guru untuk merancang metode pembelajaran yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa Papua. Hal ini menciptakan koneksi emosional yang kuat antara siswa dan pembelajaran, sehingga motivasi belajar mereka meningkat. Dengan terintegrasinya budaya lokal dalam kurikulum, siswa akan melihat relevansi materi dengan kehidupan sehari-hari sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan mudah dipahami.
Contohnya, buku pelajaran dan materi pembelajaran yang digunakan dapat direvisi untuk mencerminkan keberagaman budaya di Papua. Ini termasuk representasi karakter dan cerita yang sesuai dengan kehidupan anak-anak Papua.
Selain itu, sekolah dapat mempromosikan penggunaan bahasa lokal Papua dalam proses pembelajaran. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran bilingual (bahasa Papua dan bahasa Indonesia) sebagai bahasa pengantar pembelajaran, atau melalui kurikulum muatan lokal bahasa daerah Papua. Ini membantu anak-anak Papua untuk lebih mudah memahami pelajaran.
Sekolah-sekolah di Papua juga perlu lebih sering mengadakan festival budaya, pameran seni, lomba pidato bahasa daerah, dan acara budaya lainnya supaya anak-anak dapat mengekspresikan identitas mereka. Misal melalui kegiatan baca puisi atau pantun daerah dalam kegiatan ekstrakurikuler di hari Sabtu.
Dengan menggunakan pendekatan inklusif, kolaboratif, dan integratif, sistem pendidikan di Papua dapat memberikan kesempatan yang sama pada semua anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai keunikan dan potensinya, sekaligus memperkuat budaya dan identitas Papua yang amat berharga.
Murni Sianturi, PhD Candidate, UNSW Sydney; Jung-Sook Lee, , UNSW Sydney, dan Therese M. Cumming, Pofessor, UNSW Sydney
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.