YOGYAKARTA - Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik mengatakan bahwa PPKM Darurat gagal redam Covid-19 varian delta karena pemerintah tidak memaksimalkan tiga instrumen kekuasaan.

"Pemberlakuan PPKM darurat terindikasi gagal redam lonjakan Covid-19 varian delta karena pemerintah tidak maksimal menggunakan tiga instrumen kekuasaan yaitu instrumen law enforcement, instrumen keuangan, dan instrumen leadership," ujar Achmad Nur Hidayat yang juga Pendiri Narasi Institute, Selasa (6/7).

Achmad Nur Hidayat mengatakan Indikasi PPKM darurat terindikasi gagal karena PPKM darurat belum memberikan hasil berupa melambatnya laju kematian dan laju kasus aktif sebagaimana PSBB di awal pandemi 2020.

"PPKM Darurat sudah berjalan 4 hari sejak 3 Juli namun belum mampu menghentikan laju kematian dan laju kasus aktif Covid-19. Laju kesembuhan belum juga menunjukan level normal sebelum PPKM darurat," kata Achmad Nur Hidayat.

Achmad Nur Hidayat merasakan PPKM darurat Jawa Bali kurang disertai dengan instrumen penegakan hukum (law enforcement) dibandingkan PSBB lalu.

"Di lapangan banyak perusahaan non esensial dan non kritikal yang tidak mematuhi aturan PPKM. Mereka memaksa karyawan masuk ke kantor. Mereka tidak dihukum tegas. Karyawan mereka bisa lolos dari pos penyekatan PPKM darurat karena aparat keamanan tidak bisa membendung mereka yang penuh datang ke kantor," katanya.

Achmad melihat lemahnya law enforcement dalam PPKM darurat terjadi karena tidak dilibatkannya Pak Mahfud MD Menko Polhukam dan jajarannya dalam gugus tugas PPKM Darurat.

"Penunjukan Pak Luhut Menko Marves adalah penunjukan yang tidak dilandasi perencanaan matang akibatnya ada yang miss calculation terkait law enforcement," tandas Achmad.

Achmad juga melihat adanya krisis oksigen dan krisis harga obat seperti Ivermectin dan 10 obat lainnya karenanya lemahnya law enforcement.

"Kewibawaan hukum begitu lemah dari PPKM Darurat kali ini, oknum pencari untung dari krisis oksigen dan Ivermectin tetap meårajalela meski pemerintah sudah menetapkan harga eceran tertinggi (HET). Intinya aturan terasa tidak hadir dilapangan karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum," terang Achmad.

Ahmad melihat selain lemahnya instrumen law enforcement, instrumen keuangan juga tidak dikuatkan dalam PPKM Darurat kali ini.

"Meskipun Menko Perekonomian telah mengusulkan tambahan 225,4 triliun rupiah untuk penanganan pandemi dari sisi kesehatan dan perlindungan sosial masuk dalam program PEN, namun implementasinya pasti memerlukan waktu 1-2 minggu paling cepat untuk administrasinya dan butuh waktu 1 bulan paling cepat untuk implementasi lapangannya. Sementara PPKM darurat berakhir 20 Juli, dukungan keuangan terlambat," papar Achmad.

Untuk masalah leadership, Ahmad memandang bahwa ada gap besar antara kecepatan laju kematian imbas Covid-19 dengan kecepatan koordinasi dan kepemimpinan pemerintah dalam penanganan Covid-19, koordinasi perlu langsung ditangan Presiden.

"Untuk mempersempit gap leadership, PPKM darurat tidak bisa dikoordinasikan oleh selain Presiden. Bila ini varian delta diibaratkan sebagai serangan masif terhadap publik Indonesia, maka Presidenlah yang harus memimpin counter attack dari serangan tersebut, bukan pembantu Presiden," tandasnya.

Achmad memandang kepemimpinan Presiden inilah yang akan mampu meredam harga oksigen dan obat-obatan, memimpin penegakan hukum bagi perusahaan non esensial dan non kritikal pelanggar PPKM Darurat, mengatur anggaran untuk membantu RS dan menyediakan bantuan sosial bagi mereka yang membutuhkannya.

"Hanya Perintah Presiden yang mampu meredam karena sejumlah kemewahan eksekutif yang dimilikinya. Termasuk hanya presiden yang bisa menutup gerbang pintu masuk Indonesia dari warga asing," Pungkas Achmad.

Baca Juga: