Sekitar 27 persen sekolah telah membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan yang terdiri dari unsur warga sekolah.

JAKARTA - Inspektur Jenderal Kementerian, Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Chatarina Muliana Girsang, mengatakan, sekitar 27 persen sekolah sudah membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Satgas PPK sendiri terdiri dari warga sekolah.

"Sampai saat ini sudah ada sekitar 27 persen dari jumlah sekolah yang kami fasilitasi untuk pembentukan tim penanganan kekerasan di sekolah. Sehingga nanti kita akan bantu bimbingan teknis-nya dalam penguatan tugas-tugas mereka," ujar Chatarina, dalam Forum Merdeka Barat, di Jakarta, Senin (13/11).

Dia menyebut, jumlah 27 persen sudah cukup besar mengingat Permendikbudristek 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan baru disahkan pada bulan Agustus lalu. Secara progres, kata dia, terbilang cepat dari aturan sebelumnya yaitu Permendikbud 82 tahun 2015.

Chatarina menambahkan, semua daerah menjadi prioritas utama dalam pembentukan TPPK mengingat kasus kekerasan di sekolah merata. Pihaknya siap mendampingi sekolah-sekolah yang akan membentuk TPPK.

"Jadi kita ini masih dalam suasana bimtek untuk pembentukan di beberapa regional," jelasnya.

Dia menjelaskan, TPPK memiliki tugas lebih rinci sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Aturan tersebut juga mengamanatkan pembentukan satuan tugas (Satgas) di daerah yang dalam aturan sebelumnya hanya bersifat ad hoc. "Paling utama adalah peran dari Satgas di daerah yang dulu dengan Permendikbud nomor 82 tahun 2015 sifatnya ad hoc, dengan Permendikbudristek 46/2023 sifatnya tetap," katanya.

Chatarina mengungkapkan, pengubahan kebijakan penting mengingat aturan sebelumnya dibuat berdasarkan banyaknya kasus kekerasan bullying. Seiring waktu berjalan, justru peningkatan banyak terjadi pada kekerasan seksual pada anak. "Akhirnya dalam Permendikbudristek 46/2023 kami mengubah kebijakan dengan menbuat suatu pengaturan yang lebih rigid lagi dari definisi bentuk kekerasannya," tandasnya.

Siapkan 60 Kurikulum

Sementara itu, Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, mengatakan pihaknya akan memasukkan edukasi promosi kesehatan ke dalam kurikulum sekolah. Pihaknya sudah menyiapkan 60 kurikulum kesehatan untuk setiap jenjang sekolah.

"Kita sudah ada 60 kurikulum kesehatan masuk ke pendidikan PAUD, TK, SD, SMP SMA," ujar Menkes, dalam keterangannya, Senin.

Dia menyebut, kurikulum tersebut akan masuk kurikulum resmi mulai tahun depan. Menurutnya, edukasi promosi kesehatan yang paling baik dilakukan sedini mungkin. "Dalam kurikulum terdapat informasi-informasi penyakit termasuk cara pencegahannya. Yang namanya promosi kesehatan itu sifatnya inklusif bukan eksklusif harus dilakukan jadi gerakan," ucap Menkes Budi.

Menkes mengungkapkan, konsep kesehatan yang benar adalah menjaga orang tetap sehat bukan mengobati orang sakit. Sebelum dia menjabat, 80 persen anggaran di Kemenkes digunakan untuk mengobati orang sakit dan urusan dokter spesialis, rumah sakit, alat-alat kesehatan, dan obat-obatan.

"Yang menarik buat saya adalah to promote healthy life and well being tidak ada kata-kata to cure people. Menjaga orang tetap sehat dan sejahtera, jadi tidak ada kata-kata mengobati orang sakit," jelasnya.

Untuk mewujudkan konsep kesehatan tersebut, Menkes menginisiasi 6 pilar transformasi kesehatan. Salah satunya transformasi layanan primer.

Pada transformasi layanan primer, pihaknya melakukan revitalisasi Puskesmas, Posyandu, dan Puskesmas pembantu (Pustu). Hal ini sudah masuk ke undang-undang kesehatan.

"Itu sebabnya di undang-undang yang baru kita bikinnya revitalisasi layanan Primer. Itu gak berhenti di 10.000 Puskesmas tingkat kecamatan dan kelurahan. Kita ada 34 provinsi, 514 kabupaten/kota. Kita mau turunin 85.000 Puskesmas pembantu di level desa dan 300.000 di level dusun," terangnya.

Menkes menyadari upaya edukasi promosi kesehatan harus menjadi gerakan. Menurutnya, program tersebut tidak mungkin berhasil kalau dilakukan secara eksklusif. "Yang namanya promosi kesehatan itu sifatnya inklusif bukan eksklusif harus dilakukan jadi gerakan," tandasnya.

Baca Juga: