Judul : Untuk Republik: Kisah-kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa.
Penulis : Faisal Basri dan Haris Munandar
Penerbit : IRSA Press, Jakarta
Cetakan : 2019

Seiring dengan berbagai kemajuan ekonomi yang dicapai Indonesia, nilai-nilai materialisme kian mengemuka. Kelimpahan materi menjadi tujuan terpenting dalam hidup, yang acapkali hendak dijangkau dengan segala cara. Kalau pandangan ini juga dianut oleh kalangan elite penyelenggara negara, maka menjadi sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara secara keseluruhan. Seolah-olah tanpa uang yang banyak mereka takkan dapat menjadi politisi atau penyelenggara negara yang handal.

Buku ini menyajikan 23 contoh nyata betapa kesederhanaan tidak menghalangi seseorang untuk berbakti bagi bangsa dan negaranya. Pilihan hidup sederhana memang tidak mudah, tapi kalau kita menghendaki kemajuan, maka tiap pemimpin sedikit banyak harus berkaca dan menyerap pelajaran berharga dari ke-23 tokoh bangsa yang sudah membuktikan kemuliaan seorang pemimpin seharusnya bertumpu pada kejujuran dan kesederhanaan, bukan pada timbunan uang haram dan gaya hidup hedonis yang jelas-jelas bertentangan dengan niat untuk mengabdi. Bagi yang merasa tidak sanggup, sebaiknya meninjau kembali cita-citanya untuk menjadi pejabat publik.

Imbalan bagi penyelenggara negara sudah jauh lebih baik saat ini, tetapi tetap saja takkan cukup buat mereka yang menginginkan kemewahan. Sampai batas tertentu tiap calon pemimpin harus sanggup dan mampu hidup sederhana. Jika ingin hidup mewah, silakan saja, tapi jangan dari jabatan-jabatan publik. Silakan terjun ke gelanggang bisnis atau dunia keartisan. Jabatan publik sesungguhnya identik dengan pengorbanan, dan hanya melalui pengorbanan seseorang bisa meraih kemuliaan. Kejujuran dan kesanggupan hdup sederhana sesungguhnya merupakan syarat yang tak bileh ditawar kalau kita semua negara dan bangsa ini maju dan sejahtera.

Inggit Garnasih Soekarno mislanya, bercucur peluh membuat bedak dan lulur tiap hari dan malam untuk mengasapi dapur keluarga serta membiayai kuliah dan perjuangan kemerdekaan sang suami tercinta. Bu Inggit sangat senang suaminya itu menjadi Sang Pendiri Republik, meskipun di gerbang kemerdekaan ia tersisih ke pinggir, kembali membanting tulang membuat bedak dan lulur untuk menyambung hidup.

Lain lagi Bung Hatta, hidup prihatin sepanjang usia. Ia Proklamator, Wakil Presiden RI, dan tiga kali menjabat Perdana Menteri. Tapi ketika menginginkan sepasang sepatu Bally, ia gagal mewujudkannya dan keinginan itu tetap hanya menjadi keinginan sampai akhir hayat.

Begitu juga Haji Agus Salim adalah salah seorang Bapak Bangsa dan diplomat ulung. Ia berjasa meraih pengakuan internasional pertama bagi Republik Indonesia. Ia wafat di rumah kontrakan dalam gang becek.

Selain itu, WR Supratman tidak pernah sejahtera sepanjang usianya. Dalam kondisi kesehatan dan keuangan yang serba suram, ia terpanggil mengerahkan tenaga dan semangat untuk memberikan sumbangan bagi bangsanya berupa Lagu Indonesia Raya.

Tahukan Anda bahwa Pak Dirman (Jenderal Soedirman), sejak revolusi punya gudang senjata terbesar, lalu memimpin seluruh kekuatan bersenjata Indonesia untuk mengusir Belanda. Ia adalah pemimpin militer yang paling dicintai, sehingga ia bisa saja hidup senang kalau ia mau. Tapi ketika wafat dalam usia muda ia tidak meninggalkan materi apa-apa bagi istri dan anak-anaknya yang masih kecil.

Yang juga patut dicontoh, Syafruddin Prawiranegara berkali-kali menjadi menteri keuangan dan gubernur bank sentral. Tapi ia tidak punya tabungan berarti sehingga keluarganya berkali-kali harus bertahan hidup hanya dari santunan para sahabat dan handai-taulan.

Buku ini baik dibaca untuk mengenal para tokoh dan tentunya meneladaninya. Halida Hatta, putri proklamator kita Bung Hatta, yang hadir di peluncuran buku ini di Jakarta memberikan kesaksian tentang kesederhanaan. Belajar dari ayahnya, Halida menyebutkan pentingnya membangun jatidiri kita dengan merencanakan hidup tidak harus dengan atribut kemewahan. Kesederhanaan tidak membuat diri kita berkurang namun pikiran harus tetap luas, demikian refleksi Halida Hatta tentang ayahnya. Peresensi, Agustian B. Prasetya, Dosen Magister Management BINUS University

Baca Juga: